Nawala Patra

Sabtu, 12 November 2016

Pasir

Hanya pasir di pantai
Terbaring terombang-ambing
Ombak ganas rindu tutur canda
Pantai, kosong diam sepih

Semua berlalu, hanya pasir
Ombak merintih jauh
Pasir sendiri berkelut duka
Ombak tadi beriak nanar

Pasir kemarin berlalu tadi
Wahai syahdu, hanya pasir
Di pesisir kemarin bising
Tertawa, sedang merintih ditunggu

Hanya pasir di pantai
Berteman ombak berlalu
Duka, nanar, ombak pulang ....
Pasir, diam dan kumal

Batavia - 13 November 2016

Rabu, 02 November 2016

Teleuna

Hutan itu sahabat
Di hutan aku berteman ketakutan
Lembah-lembah menjulang di antara punggungan bukit

Ah! Aku hilang, sedetik pun maju detak jantung berdetak ketakutan
Irama biofera mendesau, Teleuna adalah ketakutanku

Ketakutanku mengawali tapak kaki berjejak
Aku kembali mundur pada petualangku
Di punggungan bukit serba-serbi ketakutan meluap
Aku menjadi lebih takut. Walaupun hutan itu sahabatku

Teleuna yang menjulang di atas ketinggian seribu
Aku meniru ketakutan yang bias dari perlawanan jejak-jejak kaki
Aku hilang! Memutar mundur langkahku menjenguk awal tapak kaki

Di antara segumpal stepa yang perawan
Rumput-rumput biru bak samudera luas nan biru
Awan mengepung hingga menjadi tirai, seketika ia membungkus
Teleuna menyembur ketakutan
Aku kembali hilang dari lamunanku yang pulas

Teleuna jejak hilangku
Walaupun ia menjadi sahabat
Walaupun ia semakin akrab
Aku hilang di punggungan Teleuna

StilusMisti1<.
Ditulis saat ke Binaiya

Puisi ini terbit di floressastra.com

Itu Hujan

Hujan melirik pagi, di tengah meninggalkan malam. Namun, malam pun hujan semalam deras; Hujan menumpuk derasnya. Nantikah hujan itu menyurut pada petang? Tak ada alibi, mengapa sampai petang.

Tanpa seberkas alasan, mengapa hujan turun. Hujan bercucuran pada bumi gersang. Meletup dan basah, yang tumbang di hutan jadi petaka bumi yang asri. Itu rahmat. Itulah hujan…

Hujan turun di bantaran sungai, ada rahmat ada petaka. Hujan turun pada bongkahan tanaman. Itulah rahmat.

Amalatu, 1 April 2016
StiLusmistic1<.

Puisi ini terbit di floressastra.com

Aku, Penikmat Kopi

Hujan di luar sana menggugat. Dari angin, percikan kecil menetes, sampai yang lebat dan hebat. Potret hujan malam ini membunuh akal, langkah.

Tapi aku dan secangkir kopi tak mau mengelak. Menutup mata dari amukan hujan. Kopi hitam pun pantang berkurang. Tugasnya menghapus segumpal dingin membeku di tubuh.

Bukan hanya kopi rupanya. Masih ada sebatang rokok. Filter, racikan cengkeh itu menyatu memberikan aroma khas. Membunuh jari-jemari yang kaku, badan yang terus menggigil, jari kaki melipat-lipat.

Filter dan racikan kopi hitam bercerita tentang dawainya asmara bersama hujan. Menghidupkan segudang cerita di simpang jalan. Mematikan semua pikiran alot dan dekil malam ini.

Karena aku hanya berpikir: mengapa Tuhan turunkan hujan? Sementara orang tak berpayung masih mengais hidup di jalanan, emperan pasar, bangunan-bangunan tuah yang reyot mendekat roboh.

Ah, aku hanya berpikir yang rumit-rumit. Mungkin Tuhan telah menjanjikan kehidupan di balik hujan.

Biarlah! Cukup aku nikmati pekatnya kopi, manisnya racikan filter sambil mengenang hujan yang berlalu dua menit terakhir.

Ambon, 15 April 2016
StiLusmistic1<.

Puisi ini pernah terbit di floressastra.com

Minggu, 30 Oktober 2016

Salam Lintas

Pers kampus dan pesonanya untuk mahasiswa adalah tugas mulia seorang wartawan kampus.

Kalau katong sering bicara soal fungsi dan tanggung jawab pers. Berarti katong harus tau pelaksanaannya. Kalau pers sebagai mata dan telinga rakyat saja sudah buta dan tuli, bagaimana masyarakatnya. Bagaimana mahasiswanya.

Sekalipun katong Pers Mahasiswa bukan berarti katong harus patut terhadap sistem. Seng semua sistem diatur menjurus kepada kebaikan. Ketidakbaikan itu ditanamkan sebagai sikap skeptis kita, wartawan kampus. Minimal, katong bisa mendidik mahasiswa dengan informasi yang akurat dan berimbang. Ketika mahasiswa bodoh, tidak perlu salahkan dosen atau mahasiswanya. Salahkan pers-nya. Berdasarkan satu dari empat fungsi yang diemban.

Karena orang masih lebih percaya pers di kampus dibanding pers atau media mainstream. Tugas pers sebagai pendobrak sistem dan penganutnya yang korup. Pers mahasiswa harus tajam, karena selain sebagai fungsi kontrol, kita adalah seorang akademisi. Jangan berduka kalau kebenaran menjadikan seorang wartawan dianggap delik pers. Di dalam sistem ada aturan-aturan lain.

Di antara aturan-aturan yang ada, tidak semua aturan menawarkan kebaikan, karena di dalamnya ada uneg-uneg yang mampu menyimpang. Kalau analisa ini salah, tidak mungkin kita mengalami kehilangan di "kamar" kita sendiri.

Kalau redaksi Lintas masih cengeng, ganti nama saja. Kalian dididik dengan pengetahuan yang berbeda. Pengetahuan akademisi dan cara bertindak kreatif.

Ketajaman pena harus lebih tajam dari mata elang. Kalian bukan generasi shelfie, generasi-generasi manja. Marco harus di buang di Digul karena mengkritisi rakyat Jepang dan Belanda. Pramoedya menyingkap sisi gelap Orde Lama--Orde Baru, Mochtar Lubis,-- dan masih banyak wartawan-wartawan lain yang mampu mengajari kita untuk berkata tidak!

Maksud mengkritik berarti tidak menginginkan hal kemarin dijajakan kembali, dipraktek--dan selanjutnya. Kalau masih seperti kemarin, baju pers, id card, tidak berdosa dibakar.

Karena baju pers dipasung berarti bersedia untuk mengontrol, menganalisis, mendengar, melihat, mengumpulkan, menulis, meng-edit, sebarkan di publik. Bukan sekedar gaya-gaya. Oleh karena itu menulis, dengan bahasa paling jujur.

Salam Pers!

Semacam Repartian

Begitulah kita mengenal malam
Dari biji-biji yang dipetik pagi sampai petang
Begitulah kita mengenal pagi
Dari mulut dusta, kita mendengarnya hingga petang

Kita adalah pengagum repartian di negeri orang
Kitalah sendiri mengusung repartian itu
Dari pagi sampai petang

Sebentar lagi kita pulang
Masihkah kita pergi pagi; pulang petang?
Memetik biji, merayakan malam
Sebentar lagi kita keluar, mendengar ocehan dusta

Begitulah kita mengenal malam
Sampai petang enggan kita tahu
Kita pengagum repartian
Sekalian pengelana bagi riwayat dusta

Kita adalah batu repartian
Menunggu bau dan aroma pagi
Itu tak mungkin tercium
Selain dusta di petang hari

Dari biji-biji yang dipetik pagi sampai petang
Dari mulut dusta, kita mendengarnya hingga petang
Sudahlah! Kita adalah batu repartian
Sebentar lagi diboyong pulang

Berdengung tentang serangkaian upacara repartian
Sampai selesai, kita enggan berbatu repartian
Yang dikeramatkan, kitalah biji yang dipetik pagi
Sampai pulang petang

Sebentar, masih ada dusta di sana!

Jakarta, 29 September 2016

Menolak Tuhan

Tuhan dalam pikiran seorang ateis memiliki nilai yang berbeda, dari pikiran dangkal seorang ahli agamawan tentang Tuhan.

Seorang yang cenderung menyebut dirinya ahli agama, kerap mengimani Tuhan dalam demarkasi terhadap manusia lainnya. Garis yang diciptakan sebagai pembatas. Bahwa Tuhan adalah kebenaran bagi sekelompok agamawan. Bukan Tuhan untuk kebenaran bagi seluruh alam. Artinya, kebenaran tentang Tuhan hanya ada pada kelompok yang menamakan mereka sebagai agamawan tanpa pertimbangan masak.

Klaim kebenaran menjadi tumpah-tindih, klaim Tuhan sebagai pemilik individu dan sekelompok orang, finalnya Tuhan telah dikelompokan. Menolak Tuhan-lah, untuk mengimani Tuhan bagi seluruh alam. Bukan Tuhan sekelompok manusia.

Orang-orang agamawan cenderung menolak kebenaran itu, menurut logika dan pikiran yang dibentuk berdasar hitamnya demarkasi. Si agamawan kerap menjadi ganas dan bringas, mengecam, mengancam, bahwa Tuhan dalam kebenarannya, bukan Tuhan yang dipikirkan seorang ateis.

Padahal Tuhan sendiri pesimis melihat ganas, bringas, ancaman, dan kecaman--terhadap suatu kaum. Tuhan anti terhadap pikiran yang diperbudak dengan langkah-langkah bengis manusia, yang mengaku dirinya sekelompok agamawan. Mengaku kematian sebagai seorang suhada, dan konstruksi pikiran tantang Tuhan dibentuk dalam kesimpulan-kesimpulan nisbi.

"Loh, kamu tidak boleh memilih partai itu, hukumnya haram, tidak boleh minum di gelas  bergambar Yesus, 'ntar kafir loh," dengan sendirinya mereka mengambil kebijakan Tuhan--untuk mengkafirkan manusia lain. Tuhan disengketakan dalam corak berpikir seorang agamawan, Tuhan dibentuk dari logikanya, Lantas siapakah Tuhan itu?

"Apakah Tuhan datang dengan sepenggal surat, kemudian menyatakan, 'jadilah kalian tangan kananku', untuk menghukum, menghujat siapa saja, yang berbeda?" Di mana kekuasaan Tuhan yang sesungguhnya. Seandainya Tuhan demikian, maka Tuhan itulah yang diciptakan manusia, bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Menolaklah ber-Tuhan seperti mereka yang menamakan diri sebagai agamawan itu.

Mengutip penyair Veda di India yang ditulis Rabindranath Tagore. Tuhan dari inti kepedihannya menciptakan semua yang kini ada. (Hartono, 2002:39).

Semua yang bergerak dan mati pun diakui Tuhan, tapi dengan dangkal separuh orang-orang yang menyatakan dirinya agamawan menolak itu. Mereka dengan kesimpulannya bertekad menolak Tuhan dalam kelebihan yang dibatasi oleh pengetahuan.

Mencintai sesama, berbagi, melindungi adalah jawaban manusia-manusia yang berpikir tentang keyakinan dan Tuhan secara logis. Bukan bersikap parsial terhadap suatu penciptaan yang dianggap berbeda. Kelebihan manusia adalah kemampuan memberi kesimpulan, menerima corak warna. Menciptakan Tuhan dalam pikiran mistik adalah tindakan yang berlebihan.

Tuhan seakan-seakan dianggarkan untuk memenangkan sebuah kompetisi, membedakan sesuatu yang selaras. Yang seharusnya dipertahankan sebagai kebutuhan. Dijadikan sebagai alat untuk memerangi perbedaan.

Dan keberadaan ateis adalah ideolgi yang dibentuk oleh pikiran manusia lain, bukan berdasar pada apa yang telah dituturkan dalam kitab Tuhan. Ada orang-orang yang dianggap ateis, sementara dia tidak berpikir bahwa dia seorang ateis. Jelas! Karena ateis adalah logika yang dibangun oleh ideologi sekelompok orang.

Dalam kitab-kitab Samawi, Tuhan tidak mengklaim adanya sekelompok ateis, tetapi ateis sendiri diciptakan berdasarkan pemahaman manusia. Padahal, bisa saja pemahaman itu dibangun oleh kelompok, lingkungan,  bukan keyaninan, bukan kebenaran, bukan pesan dari langit yang sesungguhnya.

Tuhan pun risau. Gelisah, mengapa manusia memusatkan pikiran terhadap objek yang bukan bagian dari pada urusannya, yang dijadikan landasan orang-orang agamawan. Dan mengambil peran Tuhan sebagai manusia abadi. Manusia abadi, orang-orang yang berpikir tentang pandangan orang lain dalam meyakini keadaan Tuhan, tanpa memuliakan penciptaannya, yang sosial. Bukan asosial.

Karena yang menyesatkan manusia, adalah bagaimana dia berpikir tentang kesesatan untuk menyesatkan. Kebenaran Tuhan, bukan sekadar dipenjarakan dalam terali-terali logika yang dangkal, yang diyakini dengan menolak penciptaan yang lain. Menerima perbedaan adalah hukum Tuhan yang tidak bisa ditawar.

Ketidak-Tuhan-an seorang ateis, adalah kesimpulan seorang agamawan yang dangkal.


Jakarta, 2 September 2016.

Minggu, 16 Oktober 2016

Melawat “Jalan”-Nya

Foto: Kompas Masohi
Aku mendengar kabar kematianmu Nanda, ada duka dan bahagia. Karena kematian sudah menjadi tujuan akhir kehidupan manusia.

Tidak ada manusia yang menginginkan kematian mendahului nasib. Kepergianmu hari ini, bukan kemauanmu. Tidak juga keinginan orang-orang dekatmu. Tapi itu sudah menjadi catatan harian yang ditulis oleh penikmatnya, di mana dia sendiri tidak bisa membacanya. Siapa pun mahluk itu, pasti menemukan jalan yang sama, jalan kematian. Siapa yang bisa mengelak dari panggilan kematian?

Kamis, 18 Agustus 2016

Sarif dan Sebongkah Sampah

Sarif (65), memikul barangnya saat beranjak dari tempat sampah. Rabu, (17/08/2016).
Syarif (65), bertahun-tahun menjadi pemulung. Sejak tahun '89 ia bertualang di tempat-tempat sampah. Dari pagi sampai malam, ia mengumpulkan plastik, alumanium, kertas, untuk membiayai anaknya yang sedang kuliah.

Saya bertemu lelaki paruh baya itu di Kebun Cengkeh, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, depan bengkel Latansa. Rambutnya sepanjang bahu, dililit dengan karet. Memakai topi, kameja, dan celana panjang--semuanya serba hitam.

Sarif kelahiran Pulowali Mandar, Sulawesi Barat. Setelah berhenti dari pekerjaannya di kapal penampung tuna, KM. Pulau Adi, ia mulai menguji nasib di atas tumpukan sampah. "Yang penting halal, bang." Kata Sarif sambil menenteng barangnya.

Senin, 11 Juli 2016

Hijau Negeriku

Ah.. negeriku yang hijau. Hijau lautnya, hutannya, dan pegunungan yang menjulang tinggi.

Negeriku yang subur kaya alamnya. Laut dan hutan punya kekayaan berlimpah ruah. Di laut puluhan perahu mendayung para nelayan sibuk melaut, mencari ikan. Puluhan bagang berjejer mereka seakan berlomba menjadi rumah bagi biota laut.

Pepohonan di belakang negeri Hatuhaha rimbun dan menawan. Di bagian barat, perakampungan berjejer diapit pepohonan dan kerimbunannya. Hingga badan rumah pun tak terlihat. Satu buah tower yang berdiri tegak di semenanjung Latu. Kabupaten Seram Barat.

Libur Dibesuk Gelombang

Pulang kedua. Kali ini beta pulang untuk besuk Idul Fitri di kampung halaman--Yaputih, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Masohi. Sabtu 2 Juli 2016. Sore itu beta bertolak dari Tulehu menuju Amahai, dan beristirahat di Masohi. Karena keberangkatan di sore hari, tidak memungkinkan ada angkutan (mobil) dari Masohi ke Yaputih. Beta melewati jalur laut. Kapal yang beta tumpangi--Santika Torpedo. Dengan Torpedo satu--setengah jam untuk jarak tempuh Tulehu--Amahai.

Di Torpedo, penumpang tidak cukup 2000 orang. Mereka punya tujuan yang berbeda: ada yang jenguk keluarga, mudik lebaran, dan urusan lain. "Beta cuma pulang besuk orangtua." Ujar anggota Brimob Ambon angkatan 2005-2006 itu. Di ruang tunggu pelabuhan Tulehu.

Sabtu, 04 Juni 2016

Romusha



Memoar Tahun Juni

Foto: Ihsan Reliubun
Fitri Indralia Mossy, Air Tebing Desa Yaputih Maluku Tengah. Maluku
           Kemarilah Aku dan Kau melengkapi abjad-abjad yang putus—meski kita harus menyulamnya berkali-berkali. Meski abjad-abjad itu berupa teks klasik yang konon-katanya tak ada benang penyambung, penghubung. Biarkan kita menjadi penghubung.

Rabu, 06 Januari 2016

Dua Juta Untuk 2.000 Buah Kelapa



Tek..! Tek..! Tek..! Suara tempurung di bilik 2x3 meter. Rasid Rumbia (49), Mengayunkan parangnya melepaskan kulit kelapa.
Tangan kirinya memutar buah kelapa, tangan kanannya terus memotong tempurung. Kulit tempurung pecah terpanggal dan bertumpuk di biliknya.
Rasid, pedagang di pasar Arumbai melakoni pekerjaannya sebagai penjual kelapa parut. “Sudah enam tahun berjualan kelapa parut,” kata Rasid, tanpa jedah ia terus mengayunkan parangnya.
200 sampai 300 buah kelapa yang habis terjual. Rasid melakoni pekerjaannya setiap hari, dari pagi hingga malam. “Jam lima sudah harus di pasar, sampai jam sembilan malam.” Tutur Rasid, lelaki kelahiran Pasarwajo, Sulawesi Tenggara.
Ia mendapat kelapa dari seorang pemborong yang dibeli dari Desa Olas dan Tanah Goyang, Seram Bagian Barat (SBB), Piru. Rasid, lelaki lima orang anak ini mengaku setiap subuh harus merebut kelapa dari penyuplai. “Beli per buah dua ribu rupiah, ada yang sampai tiga ribu.” Ujarnya.
Harga yang berbeda di dapatkan dari penyuplai. Tergantung pada ukuran buah kelapa. Dalam sehari ia membeli sebanyak 400 buah. Adapun yang tersisah, tidak semua kelapa dihabiskan sehari. “Tergantung ramainya pasar, dalam sehari ada yang tersisah 20 buah,” ujarnya, sambil menikmati sebatang rokok ditangannya.
Untuk melancarkan kerjanya sebagai penjual kelapa parut, Rasid harus bekerja sama dengan tiga orang  penyuplai. Hal ini dilakukan supaya tidak terputus berjualan kelapa parut setiap hari.

Jumat, 01 Januari 2016

Gempa Terasa di Gedung Kembar



Deerrrrrrrrrrrrr..! Deerrrrrrrrrrrrrr..! Gedung kembar bergetar, gempa menyilimuti suasana hening.

Kursi, meja, serta perabotan di gedung pun ikut bergoyang. Mahasiswa dan dosen yang masih menempati gedung berusaha menyelamatkan nyawa mereka. Berlari menuju pelataran gedung kembar. Berkumpul di halaman kampus IAIN Ambon.

Sementara empat orang mahasiswa yang asik bercerita, spontan kaget merasakan getaran bangunan berlantai dua itu. Suasana yang tadinya meriah tiba-tiba sima. 

Sementara dua orang lelaki yang tertidur di sekret Unit Kerja Mahasiswa (UKM) Pers Lintas malam itu berlari ketakutan.

Bunyi hentakan kaki berpijak di lantai tampak berantakan. Suara ketakutan Memenuhi bangunan kembar.  Lari menuruni tangga hingga berdiri dengan nafas tersengal-sengal di lingkungan kampus.

Orang-orang yang menempati ruangan di “gedung hijau” serta-merta keluar dengan wajah pucat pasi. Listrik pun tiba-tiba mati, suasana gedung tampak seperti goa tak bertuan. “Ya Allah, takutlah. Apalagi dengar teriakan dari orang-orang yang berlari,” ujar Diaz, mengenang peristiwa yang terjadi lima menit lalu.

Getar bangunan membangunkan Aldi (24), dari tidur pulasnya di lantai satu, ruang dosen jurusan Ekonomi Syariah. Ketakutan yang berlangsung selama dua menit, “Beta lari keluar bataria-bataria,” ujar Aldi di Gedung kembar yang tengah duduk memangku lutut.

Di bangunan hijau itu, dinding yang terbuat  dari beton bergoyang tampak tak berdaya. Beberapa orang lelaki yang tengah menikmati suguhan internet di gedung itu, tiba-tiba melaju menuju pelataran gedung. Dinding beton sekejab gugur, gugurannya berhamburan di lantai.

Setelah orang-orang yang menenpati bangunan itu keluar dan  berkumpul di pelataran bangunan kembar, mereka menceritakan kepanikannya saat banguan tua  bergoyang kencang. 

Hanafi Holle (40), menceritakan peristiwa singkat yang sempat memacu kepanikannya sehingga meninggalkan pekerjaannya.

Beta sedang mengetik di laptop, saat bangunan itu bergoyang, dengan panik beta lari kaluar. Bahkan, sendal yang tadinya beta pake pun beta sengtau akang di mana. Lari tampa sendal,” Kata Hanafi, lelaki paruh baya berkaus merah, yang hanya mengenakan celana pendek putih saat lari meninggalkan ruang kerjanya.

Gempa yang terjadi pukul 01.25 WIT, berdurasi satu menit hingga menggempar orang-orang yang masih mendiami kampus di malam hari.  Bangunan rektorat yang menjulang di atas dataran tinggi lingkungan IAIN Ambon, sebagian dinding dan plafonnya ikut rontok. “Dinding retak dan plafon rektorat hancur,” ujar seorang security saat berjaga malam di rektorat.

Menurut Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) daerah Karang Panjang (Karpan), Kota Ambon, yang dilansir dari facebook. Kekuatan  gempa tersebut mencapai 5,2 scala hicter, tidak berdampak pada tsunami.

Pukul 03.30 menjelang subuh, bangunan itu kembali bergoyang orang-orang masih tengah bercerita di gedung itu tampak kaget. Tapi goyangan itu tidak menakutkan seperti sebelumnya.

Selasa, 22 Desember 2015

Diary: Bandara

Perjalanan pagi, debu pun belum terlihat, sisa pancaran cahaya mewarisi warnanya yang terlihat satu-satu dari semak belukar. Motor melaju, menuju arah bandara, sisa embun itu masih terasa, hingga udara pun dingin, menusuk pada dua tubuh.

Perjalanan menuju bandara Pattimura bersama Fitri. Seorang kekasih sekalian permata hati. Dia mengantar Saya sampai di bandara, menunggu saya sampai selesai check in. Dia menunggu Saya diluar, seperti kebanyakan orang. Setelah melakukan check in Saya kembali menemuinya. Sempat juga Saya mencarinya ketika kembali di tempat ia menungguku, dia duduk di paling pojok, jauh dari tempat Saya meninggalnya sebelumnya.

Setelah ketemu Fitri, Saya langsung pamitan, “Saya sudah mau berangkat,” dia mengganggukan kepala dengan wajah pasi. Saya tau wajah itu, Saya tau roman mukanya, dia sedih. “Iya! Hati-hati di sana.” Katanya.

Kita kembali ke arah parkiran, beberapa motor berjejer, salah satunya motor Fitri, Mio Z warna pink. Di situ, Saya keluarkan motornya dari tempat parkir, dan menyalakan mesin motor sembari menatapnya dalam-dalam. Tatapanku hampir basah, melihatnya duduk bersiap untuk kembali, Dia kembali menoleh ke arahku, Saya pegang kedua pipinya serta memberikan satu ciuman pada testanya, Fitri hanya diam.

Fitri melaju dengan kendaraannya, Saya hanya berdiri dan menatapanya dari jauh, sisa-sisa debu beterbangan menghampiriku, beberap butir debu itu masuk ke kelopak mataku, sontak  tubuhku seirama dengan gerak tangan kuarahkan ke mata kanan, dan mengucanya hingga rasah peri itu hilang seketika.

Saya  menuju arah bandara, menuju pintu satu. Pesawat Lion Air yang Saya tumpangi sedang bersiap, beberapa orang berjalan masuk menuju pintu depan, ada juga masuk dari pintu belakang. Saya berjalan masuk, tempat duduk Saya di pojok kiri no 39 C, setelah duduk, saya mengirim pesan, “Sayang beta sudah di pesawat, tempat duduk no 39 C,” Pesan itu terkirim.
 

Rabu, 09 Desember 2015

Gugun Avonturir


Gugun bukan pelawak!
Bukan juga pelaut! Apalagi pelacur!
Dia avonturir, dari detik ke menit,
Lorong ke lorong menuju teras

Teras itu hijau, tinggi bertangga,
Gugun menuju tangga, pulangnya sebagai avonturir
Teras hijau, tinggi, bertangga!
Jejak tertimpa, tumpuan tersisa,
Tanda, Gugun kembali dari lorong dan teras,

Karena Gugun bukan pelawak betah akan tertawa!
Gugun, pelawak dari jalanan!
Kembali dari intuisi Avonturir

__Malam Berangkai_10.12.2015

Kamis, 03 Desember 2015

Rimba Belukar "Titik dan Ganda"

Di Suatu tempat. saat mereka di pertemukan pada rimba yang belukar.
dia (Si Titik) mengenal Ganda, orang yang membuatnya merasa ada, cuplikan kata di Film "Bilik Hijau"
Ganda, wanita yang memiliki 2 orang kekasih, Namun, hal itu biasa saja dijalani. satu ketika, Titik, bertemu ganda, "Hai, Ganda" Sapaan titik yang lirih.
"Ia, Titik" jawab wanita itu.
"Baru kelihatan hari ini,"
"Kelihatan, Apa Maksud kamuu" Tanya Ganda dipenuhi rasah penasaran.
"Kelihatan Cantikmu, Ganda," ujar titik dengan penuh Menggoda.
Kamis lalu, mereka begitu akrab, tak perduli hujan. Langkah mengayuh menuju bangunan Hijau tempat titiik belajar, bangunan Fakultas, di kampus Hijau. Ganda terlihat begitu Akrab, saat langkah kecil mereka di pacu dengan canda dan tawa.. !

tiba-tiba rasah takut mulai keluar dari Ucapan Ganda,"Gimana, kalau, kita balik saja, saya takut Masuk diruang kelasmu," Ujar Ganda dengan sedikit wajah cemberut. "Mengapa Takut, siapa yang menakutimu?" Ucapan Titik, penuh rasah Heran.

ternyata yang ditakuti Ganda adalah sendalnya, ! Ganda merasa kurang percaya Diri, karena semua mahasiswa saat itu menggunakan sepatuh, sebagai bukti ketaatan terhadap aturan kampus, Imam Rijali Ini.
Titik, pun berusaha meyakinkan, bahwa tak akan ada orang yang memarahiny "Tak ada orang yang akan Memarahimu, semua pejabat dikampus ini Lagi Istirahat," kata Titik, meyakinkan Ganda yang peuh rasah takut.

perjalanan mereka sampai pada titik yang dicapai, ruang begitu kosong, tanpa seorangpun yang berlakon diantara dinding bangunan hijau itu, tak ada sedikit latar belakang yang menggambarkan intipan Liar di balik Sepi.
Kedua tangan merangkul erat, tatapan liar tak tersisah, mereka begitu mesrah, memandang sepih terhanyut diantara dua aroma yang berbeda, merangkul yang erat, sehingga pandangan itu bias. Apa yang mereka rangkul, Aroma apa yang mereka nikmati.

"Titik," Panggil ganda sambil menatap keluar jendela.
"Iya" sahut titik dengan suara serak setengah kuyup.
"diluar sana begitu indah, Pohon-pohon begitu subur, akankah ada tanah yang tumbang, menerpa bangunan ini ?" tanya Ganda sambil menunjuk beberapa pohon dengan Struktur tanah yang tak lama akan gugur dan retak.
tatapan mereka makin erat, memanjakan pohon yang mereka lihat, Aroma angin Mengipas Harum, menerpa kedua wajah yang duduk berdampingan, diantara dua sisi jendela kaca.
Satu botol Aqua' yang dibawakan Ganda Menjadi Bekal, saat menghabiskan waktu di bangunan Hijau.
berawal dari mimpi yang pekat, mereka merajai hari. dan begitu berlalu, mereka kembali menuju peraduan keramaian.

"Ganda, Tak ada kata yang paling Indah selain rasah terima kasihku untukMu." Tutur si Lelaki petualang itu
"Tetap percaya bahwa semua positiv. Dia yang terbaik dan perlu di jaga, di rawat." Kalimat terakhir dari titik, yang di posting dari media sosialnya.

Kamis_ 11.06.15
#Bilik Hijau-- Fakultas Pena.

Kamis, 19 November 2015

"Kau" Kenikmatan Malam

“Malam ini terlihat beda,” itu katamu saat malam yang pekat itu kita bentang kan di jalanan. Satu kalimat yang keluar penuh kesal, katamu atas lakonku yang plin-plan. Jalanan malam itu ramai. Ramai sekali, hingga malam tanpa paduan bulan kian ramai. Tawa pun demikian, tertawa dengan suara yang memecah hening, tawa yang patahkan gugup malam itu, bahkan ada terdengar suara tanya dari simpang jalan, tentunya orang-orang yang ikut meramaikan malam itu.
“Nah.. siapa mereka, tertawa seindah itu?” pertanyaan saat tawa kita hempaskan begitu saja. Tanya mereka di simpang jalan.
Saat perjalanan itu masih terus kita lanjutkan, tertawa memecah bisu masih tak jua padam, ingatkah? Semoga masih ingat.
di pusat kota, aturan lalulintas semakin ketat bahkan, kita akan dikekanakan sangsi ketika rambu-rambu lalulintas itu diabaikan.
“Wong edan, dua remaja itu,” kata seorang Polisi Lalulintas (Polantas), kenapa teguran itu ditujunkan untuk kita? Mungkin kamu lupa! Tapi begitulah kemesraan, ia sering menjadinkan kita lupa. Bahwa yang kita abaikan adalah aturan, otak sadarku mengatakan itu merupakan pelanggaran. Maaf, tapi kenapa otak kananku tidak memberitahuku bahwa tangismu malam itu merupakan pelanggaran yang tidak seharusnya kau cicipi.
Maaf, karena lakon malam itu aku jauh dari panduan sadarku. Seharusnya kesadaranku untuk tidak membuatmu basah akan air mata, tetapi tak terbendung jua. Jiwa ni sering kau patahkan dengan kata tulusmu, senyum santunmu, tawa bahagiamu, walaupun aku sebengis singa lapar yang bertahun-tahun hidup dengan amarah, tapi kamu masih tetap menjadi tuan yang selalu cinta akan hewan peliharaannya.
Nah.. kamu pasti ingat, mengapa polisi gemar menegur kita? Ya, karena canduku, terpaksa aku harus menabrak lampu merah, melaju dengan kecepatan tanpa memperdulikan rambu-rambu lalulintas, walaupun kau terpaksa tersenyum tetapi takut dengan kecepatan yang aku gongcangkan dijalanan. Itulah kehebatanmu, kau hanya bisa menikmati ganasku, tanpa memperdulikan jiwamu.
“Apa karena bahagiaku lebih berarti dari dari jiwamu?” pikirku demikian.
Jangan! Jangan! Aku tak sudih melihat itu terlaksana, karena aku masih menginginkan kamu melihat dunia yang luas, masih mengiginkan kita untuk mencicipi bahagia yang lain, yang belum sempat aku memetiknya dari langit untukmu. Dunia dan duniaku selalu merindukanmu.
***
Duduk bersilang kaki melantai di tengah trotoar jalan, mencicipi tiga buah kedondong (Lannea grandis), tiga buah mangga (Mangifera Indica) yang diracik garam dan rica kemudian ditumbuh halus, tapi selerahku tak jua surut amarah aku ikuti dengan rasaku, begitu juga kau, tampak selerah itu seimbang rasa yang memang pas untuk malam itu. Oh, rasanya cerita di trotoar itu tak mungkin aku simakan, selalu aku putarkan dalam memori ingatanku, yang makin hari nanar.
Kita habiskan waktu bersama, mencicipi bua sambil menunggu dua porsi ikan bakar yang dipesan setelah pertemuan kita di pelataran jalan Sam Ratulangi bersama penjualnya.  “Nikmat!” katamu yang menggoda setelah menikmati cita rasa buah mangga (Mangifera Indica) dan kedondong (Lannea grandis).
Kau nampak biasa saja, tak secantik orang yang melewati trotoar itu, tak jua mereka yang berjualan di simpang jalan. Tetapi kau memiliki sejuta keindahan yang belum pernah aku lihat di orang yang melewati trotoar itu. Kau selalu tampil beda, beda dengan perempuan lainnya, karena kau selalu menunjukan dirimu adalah kamu, bukan kamu adalah mereka.
Dirimu selalu bersikap sederhana walaupun kau memiliki kelebihan yang lebih, itulah keindahanmu yang tak pernah aku puas akan memetiknya. Seandainya kamu adalah pohon, maka kau pohon yang paling rimbun dari ribuan pohon di taman, selebihnya kau adalah pohon dengan harga yang sangat mahal, yang tak bisa dibeli dengan dolar mereka.
Wah, dua porsi ikan bakar itu sudah disediakan , aromanya bak harum kasturi di taman Surga. Hidung mengendus hirup aroma yang mengintai pertemuan kita.
“Mari kita cicipi sayang,” ajakmu dengan nada romantis.
Kita duduk di pojok palig kiri, rasanya orang disekitar menatap kita. “Kita seakan buku panduan yang harus mereka baca,” pikiran jailku. Tapi rasanya itu cukup penting, untuk setiap orang yang ingin hidup harmonis dalam cinta dan kasih. Kebersamaan yang tidak dibuat-buat, tidak direkayasa, kata hati yang mengajak untuk berbuat demikian.
Sebagian sajian ikan itu telah dicicipi, menikmati hidangan, rasanya puas. Kepuasan itu sangat itu bernilai berbagi rasa di tengah malam, yang kadang sebagian manusia memanfaatkan malam untuk tidur, untuk bermain tetapi kita masih tetap tertawa, walaupun tak ada yang perlu ditertawakan.
Rasanya suatu kenikmatan dalam hidup bukan berawal dari seberapa banyak harta kita miliki sehingga dengan harta tersebut hati kita terasa nyaman, tetapi tertawapun membuat kita nyaman dan indah untuk dilakukan setiap saat.
Separuh malam telah kita lewati di jalanan, habiskan waktu yang tersisah dari canda dan tawa. Separuh dari sajian ikan bakar itu telah kita habiskan, tapi masih ada yang tersisah. Dari sisah porsi sajian malam itulah yang menjadikan kita sedikit untuk harus saling menatap dengan sinis, berbicara dengan nada suara yang tertekan, yang dipoles rasa takut. Ketakutanku dan ketakutanmu makin klimaks, aku berdiri dari sajian malam itu, begitu juga kau. Aku meninggalkan hidangan itu tanpa menghabiskannya, begitu juga kau.
Di situlah terlihat kecerdasanmu, kau memilih untuk lebih halus menanggapi perilaku yang terlihat seperti seorang bocah. Saat itu aku sadar, kalaupun perilaku malam itu aku dikatakan tidak dewasa, maka aku pun mengakuinya sebagaimana yang aku tuangkan saat itu. Tapi hadirmu dihadapanku membuat semua egoku tak ada apa-apanya, yang ada hanyalah kembali untuk tersenyum, menikmati sisah pertemuan yang sangat elok itu. Kata maaf yang kau keluarkan dari bibirmu malam itu mematahkan dan melebur semua racun yang mengendap pada tubuhku. Aku terharu, melihat tingkahmu seperti seorang malaikat yang turun dari biafra, tak tahan aku meninggalkanmu sebentar, dengan alasan “Mau ke kios beli rokok,” nyatanya tidak demikian, aku hanya menghindar dari tatapan malaikat malam itu, aku tak mampu menatap kedua matamu yang tengah memberikan ribuan kenyamanan yang setelah itu aku patahkan dengan keegoisanku. “Maaf,” kata batinku.
Air mata turun pengganti matahari yang terbit dari fajar hingga senja. Tangisanmu mengalahkan kemenangan egoku. Bahkan, aku hanya duduk menunduk, kau mengembalikan kenikmatan itu seketika, setelah aku mematahkannya.

Sabtu, 31 Oktober 2015

‘Feature’ Menuju Pagi Yang Tertinggal


            Menyambut aktivitas seperti biasa, menuju kampus ditengah sunrise mulai mekar. Keramaian tampak jelas, mahasiswa berlalu-lalang. Ada yang berdiri di bawah pepohonan, ada yang menuju langsung ke fakultas masing-masing. Senin, (12/10)
            Mochtar, dosen yang paling ditakuti mahasiswanya, bukan karena jahatnya, juga bukan karena wajah yang menyeramkan, namun karena disiplin yang ia terapkan. “Aku, tidak membolehkan yang terlambat mengikuti kuliah,” katanya, yang selalu diingatkan sebelum menyampaikan mata kuliahnya.
            Selain mengajar Feature, dosen yang suka disapah ‘Abang’ ini mengajar Jurnalisme Investigasi. Namun, Ia hampir tak luput dari disiplinnya. Dua mata kuliah yang dirangkap, aturannya sama.
            Ihsan (22), mahasiswa Jurnalistik semester lima, tampak kaget setelah tiba di depan pintu kelas, melihat pintu yang tertutup rapat,“Waah ! Terlambat lagi,” ujarnya sambil menggaruk kepala.
            Ia berdiri sejenak, mengintip dari lubang kecil pada pintu berwarna coklat, namun, tatapannya tidak membuahkan hasil, tak terlihat gerak-gerik dosennya sedikitpun, hanya suara yang terdengar samar, menghampiri dinding beton fakultas.
            Tak lama kemudian, dahang p