Nawala Patra

Kamis, 19 November 2015

"Kau" Kenikmatan Malam

“Malam ini terlihat beda,” itu katamu saat malam yang pekat itu kita bentang kan di jalanan. Satu kalimat yang keluar penuh kesal, katamu atas lakonku yang plin-plan. Jalanan malam itu ramai. Ramai sekali, hingga malam tanpa paduan bulan kian ramai. Tawa pun demikian, tertawa dengan suara yang memecah hening, tawa yang patahkan gugup malam itu, bahkan ada terdengar suara tanya dari simpang jalan, tentunya orang-orang yang ikut meramaikan malam itu.
“Nah.. siapa mereka, tertawa seindah itu?” pertanyaan saat tawa kita hempaskan begitu saja. Tanya mereka di simpang jalan.
Saat perjalanan itu masih terus kita lanjutkan, tertawa memecah bisu masih tak jua padam, ingatkah? Semoga masih ingat.
di pusat kota, aturan lalulintas semakin ketat bahkan, kita akan dikekanakan sangsi ketika rambu-rambu lalulintas itu diabaikan.
“Wong edan, dua remaja itu,” kata seorang Polisi Lalulintas (Polantas), kenapa teguran itu ditujunkan untuk kita? Mungkin kamu lupa! Tapi begitulah kemesraan, ia sering menjadinkan kita lupa. Bahwa yang kita abaikan adalah aturan, otak sadarku mengatakan itu merupakan pelanggaran. Maaf, tapi kenapa otak kananku tidak memberitahuku bahwa tangismu malam itu merupakan pelanggaran yang tidak seharusnya kau cicipi.
Maaf, karena lakon malam itu aku jauh dari panduan sadarku. Seharusnya kesadaranku untuk tidak membuatmu basah akan air mata, tetapi tak terbendung jua. Jiwa ni sering kau patahkan dengan kata tulusmu, senyum santunmu, tawa bahagiamu, walaupun aku sebengis singa lapar yang bertahun-tahun hidup dengan amarah, tapi kamu masih tetap menjadi tuan yang selalu cinta akan hewan peliharaannya.
Nah.. kamu pasti ingat, mengapa polisi gemar menegur kita? Ya, karena canduku, terpaksa aku harus menabrak lampu merah, melaju dengan kecepatan tanpa memperdulikan rambu-rambu lalulintas, walaupun kau terpaksa tersenyum tetapi takut dengan kecepatan yang aku gongcangkan dijalanan. Itulah kehebatanmu, kau hanya bisa menikmati ganasku, tanpa memperdulikan jiwamu.
“Apa karena bahagiaku lebih berarti dari dari jiwamu?” pikirku demikian.
Jangan! Jangan! Aku tak sudih melihat itu terlaksana, karena aku masih menginginkan kamu melihat dunia yang luas, masih mengiginkan kita untuk mencicipi bahagia yang lain, yang belum sempat aku memetiknya dari langit untukmu. Dunia dan duniaku selalu merindukanmu.
***
Duduk bersilang kaki melantai di tengah trotoar jalan, mencicipi tiga buah kedondong (Lannea grandis), tiga buah mangga (Mangifera Indica) yang diracik garam dan rica kemudian ditumbuh halus, tapi selerahku tak jua surut amarah aku ikuti dengan rasaku, begitu juga kau, tampak selerah itu seimbang rasa yang memang pas untuk malam itu. Oh, rasanya cerita di trotoar itu tak mungkin aku simakan, selalu aku putarkan dalam memori ingatanku, yang makin hari nanar.
Kita habiskan waktu bersama, mencicipi bua sambil menunggu dua porsi ikan bakar yang dipesan setelah pertemuan kita di pelataran jalan Sam Ratulangi bersama penjualnya.  “Nikmat!” katamu yang menggoda setelah menikmati cita rasa buah mangga (Mangifera Indica) dan kedondong (Lannea grandis).
Kau nampak biasa saja, tak secantik orang yang melewati trotoar itu, tak jua mereka yang berjualan di simpang jalan. Tetapi kau memiliki sejuta keindahan yang belum pernah aku lihat di orang yang melewati trotoar itu. Kau selalu tampil beda, beda dengan perempuan lainnya, karena kau selalu menunjukan dirimu adalah kamu, bukan kamu adalah mereka.
Dirimu selalu bersikap sederhana walaupun kau memiliki kelebihan yang lebih, itulah keindahanmu yang tak pernah aku puas akan memetiknya. Seandainya kamu adalah pohon, maka kau pohon yang paling rimbun dari ribuan pohon di taman, selebihnya kau adalah pohon dengan harga yang sangat mahal, yang tak bisa dibeli dengan dolar mereka.
Wah, dua porsi ikan bakar itu sudah disediakan , aromanya bak harum kasturi di taman Surga. Hidung mengendus hirup aroma yang mengintai pertemuan kita.
“Mari kita cicipi sayang,” ajakmu dengan nada romantis.
Kita duduk di pojok palig kiri, rasanya orang disekitar menatap kita. “Kita seakan buku panduan yang harus mereka baca,” pikiran jailku. Tapi rasanya itu cukup penting, untuk setiap orang yang ingin hidup harmonis dalam cinta dan kasih. Kebersamaan yang tidak dibuat-buat, tidak direkayasa, kata hati yang mengajak untuk berbuat demikian.
Sebagian sajian ikan itu telah dicicipi, menikmati hidangan, rasanya puas. Kepuasan itu sangat itu bernilai berbagi rasa di tengah malam, yang kadang sebagian manusia memanfaatkan malam untuk tidur, untuk bermain tetapi kita masih tetap tertawa, walaupun tak ada yang perlu ditertawakan.
Rasanya suatu kenikmatan dalam hidup bukan berawal dari seberapa banyak harta kita miliki sehingga dengan harta tersebut hati kita terasa nyaman, tetapi tertawapun membuat kita nyaman dan indah untuk dilakukan setiap saat.
Separuh malam telah kita lewati di jalanan, habiskan waktu yang tersisah dari canda dan tawa. Separuh dari sajian ikan bakar itu telah kita habiskan, tapi masih ada yang tersisah. Dari sisah porsi sajian malam itulah yang menjadikan kita sedikit untuk harus saling menatap dengan sinis, berbicara dengan nada suara yang tertekan, yang dipoles rasa takut. Ketakutanku dan ketakutanmu makin klimaks, aku berdiri dari sajian malam itu, begitu juga kau. Aku meninggalkan hidangan itu tanpa menghabiskannya, begitu juga kau.
Di situlah terlihat kecerdasanmu, kau memilih untuk lebih halus menanggapi perilaku yang terlihat seperti seorang bocah. Saat itu aku sadar, kalaupun perilaku malam itu aku dikatakan tidak dewasa, maka aku pun mengakuinya sebagaimana yang aku tuangkan saat itu. Tapi hadirmu dihadapanku membuat semua egoku tak ada apa-apanya, yang ada hanyalah kembali untuk tersenyum, menikmati sisah pertemuan yang sangat elok itu. Kata maaf yang kau keluarkan dari bibirmu malam itu mematahkan dan melebur semua racun yang mengendap pada tubuhku. Aku terharu, melihat tingkahmu seperti seorang malaikat yang turun dari biafra, tak tahan aku meninggalkanmu sebentar, dengan alasan “Mau ke kios beli rokok,” nyatanya tidak demikian, aku hanya menghindar dari tatapan malaikat malam itu, aku tak mampu menatap kedua matamu yang tengah memberikan ribuan kenyamanan yang setelah itu aku patahkan dengan keegoisanku. “Maaf,” kata batinku.
Air mata turun pengganti matahari yang terbit dari fajar hingga senja. Tangisanmu mengalahkan kemenangan egoku. Bahkan, aku hanya duduk menunduk, kau mengembalikan kenikmatan itu seketika, setelah aku mematahkannya.