“Malam ini terlihat beda,” itu katamu saat malam yang pekat itu kita bentang
kan di jalanan. Satu kalimat yang keluar penuh kesal, katamu atas lakonku yang
plin-plan. Jalanan malam itu ramai. Ramai sekali, hingga malam tanpa paduan
bulan kian ramai. Tawa pun demikian, tertawa dengan suara yang memecah hening,
tawa yang patahkan gugup malam itu, bahkan ada terdengar suara tanya dari
simpang jalan, tentunya orang-orang yang ikut meramaikan malam itu.
“Nah.. siapa mereka, tertawa seindah itu?” pertanyaan saat
tawa kita hempaskan begitu saja. Tanya mereka di simpang jalan.
Saat perjalanan itu masih terus kita lanjutkan, tertawa
memecah bisu masih tak jua padam, ingatkah? Semoga masih ingat.
di pusat kota, aturan lalulintas semakin ketat bahkan, kita akan dikekanakan sangsi ketika rambu-rambu lalulintas itu diabaikan.
di pusat kota, aturan lalulintas semakin ketat bahkan, kita akan dikekanakan sangsi ketika rambu-rambu lalulintas itu diabaikan.
“Wong edan, dua remaja itu,” kata seorang Polisi Lalulintas
(Polantas), kenapa teguran itu ditujunkan untuk kita? Mungkin kamu lupa! Tapi
begitulah kemesraan, ia sering menjadinkan kita lupa. Bahwa yang kita abaikan
adalah aturan, otak sadarku mengatakan itu merupakan pelanggaran. Maaf, tapi
kenapa otak kananku tidak memberitahuku bahwa tangismu malam itu merupakan pelanggaran
yang tidak seharusnya kau cicipi.
Maaf, karena lakon malam itu aku jauh dari panduan sadarku.
Seharusnya kesadaranku untuk tidak membuatmu basah akan air mata, tetapi tak
terbendung jua. Jiwa ni sering kau patahkan dengan kata tulusmu, senyum
santunmu, tawa bahagiamu, walaupun aku sebengis singa lapar yang bertahun-tahun
hidup dengan amarah, tapi kamu masih tetap menjadi tuan yang selalu cinta akan
hewan peliharaannya.
Nah.. kamu pasti ingat, mengapa polisi gemar menegur kita? Ya,
karena canduku, terpaksa aku harus menabrak lampu merah, melaju dengan
kecepatan tanpa memperdulikan rambu-rambu lalulintas, walaupun kau terpaksa
tersenyum tetapi takut dengan kecepatan yang aku gongcangkan dijalanan. Itulah
kehebatanmu, kau hanya bisa menikmati ganasku, tanpa memperdulikan jiwamu.
“Apa karena bahagiaku lebih berarti dari dari jiwamu?” pikirku
demikian.
Jangan! Jangan! Aku tak sudih melihat itu terlaksana, karena
aku masih menginginkan kamu melihat dunia yang luas, masih mengiginkan kita
untuk mencicipi bahagia yang lain, yang belum sempat aku memetiknya dari langit
untukmu. Dunia dan duniaku selalu merindukanmu.
***
Duduk bersilang
kaki melantai di tengah trotoar jalan, mencicipi tiga buah kedondong (Lannea
grandis), tiga buah mangga (Mangifera
Indica) yang diracik
garam dan rica kemudian ditumbuh halus, tapi selerahku tak jua surut amarah aku
ikuti dengan rasaku, begitu juga kau, tampak selerah itu seimbang rasa yang
memang pas untuk malam itu. Oh, rasanya cerita di trotoar itu tak mungkin aku
simakan, selalu aku putarkan dalam memori ingatanku, yang makin hari nanar.
Kita habiskan waktu
bersama, mencicipi bua sambil menunggu dua porsi ikan bakar yang dipesan
setelah pertemuan kita di pelataran jalan Sam Ratulangi bersama penjualnya. “Nikmat!” katamu yang menggoda setelah
menikmati cita rasa buah mangga (Mangifera Indica) dan kedondong (Lannea grandis).
Kau nampak biasa saja, tak secantik orang yang melewati
trotoar itu, tak jua mereka yang berjualan di simpang jalan. Tetapi kau
memiliki sejuta keindahan yang belum pernah aku lihat di orang yang melewati
trotoar itu. Kau selalu tampil beda, beda dengan perempuan lainnya, karena kau
selalu menunjukan dirimu adalah kamu, bukan kamu adalah mereka.
Dirimu selalu bersikap sederhana walaupun kau memiliki
kelebihan yang lebih, itulah keindahanmu yang tak pernah aku puas akan
memetiknya. Seandainya kamu adalah pohon, maka kau pohon yang paling rimbun
dari ribuan pohon di taman, selebihnya kau adalah pohon dengan harga yang
sangat mahal, yang tak bisa dibeli dengan dolar mereka.
Wah, dua porsi ikan bakar itu sudah disediakan , aromanya
bak harum kasturi di taman Surga. Hidung mengendus hirup aroma yang mengintai
pertemuan kita.
“Mari kita cicipi sayang,” ajakmu dengan nada romantis.
Kita duduk di pojok palig kiri, rasanya orang disekitar menatap kita. “Kita seakan buku panduan yang harus mereka baca,” pikiran jailku. Tapi rasanya itu cukup penting, untuk setiap orang yang ingin hidup harmonis dalam cinta dan kasih. Kebersamaan yang tidak dibuat-buat, tidak direkayasa, kata hati yang mengajak untuk berbuat demikian.
“Mari kita cicipi sayang,” ajakmu dengan nada romantis.
Kita duduk di pojok palig kiri, rasanya orang disekitar menatap kita. “Kita seakan buku panduan yang harus mereka baca,” pikiran jailku. Tapi rasanya itu cukup penting, untuk setiap orang yang ingin hidup harmonis dalam cinta dan kasih. Kebersamaan yang tidak dibuat-buat, tidak direkayasa, kata hati yang mengajak untuk berbuat demikian.
Sebagian sajian ikan itu telah dicicipi, menikmati hidangan,
rasanya puas. Kepuasan itu sangat itu bernilai berbagi rasa di tengah malam,
yang kadang sebagian manusia memanfaatkan malam untuk tidur, untuk bermain
tetapi kita masih tetap tertawa, walaupun tak ada yang perlu ditertawakan.
Rasanya suatu kenikmatan dalam hidup bukan berawal dari seberapa banyak harta kita miliki sehingga dengan harta tersebut hati kita terasa nyaman, tetapi tertawapun membuat kita nyaman dan indah untuk dilakukan setiap saat.
Rasanya suatu kenikmatan dalam hidup bukan berawal dari seberapa banyak harta kita miliki sehingga dengan harta tersebut hati kita terasa nyaman, tetapi tertawapun membuat kita nyaman dan indah untuk dilakukan setiap saat.
Separuh malam telah kita lewati di jalanan, habiskan waktu
yang tersisah dari canda dan tawa. Separuh dari sajian ikan bakar itu telah
kita habiskan, tapi masih ada yang tersisah. Dari sisah porsi sajian malam
itulah yang menjadikan kita sedikit untuk harus saling menatap dengan sinis,
berbicara dengan nada suara yang tertekan, yang dipoles rasa takut. Ketakutanku
dan ketakutanmu makin klimaks, aku berdiri dari sajian malam itu, begitu juga kau.
Aku meninggalkan hidangan itu tanpa menghabiskannya, begitu juga kau.
Di situlah terlihat kecerdasanmu, kau memilih untuk lebih
halus menanggapi perilaku yang terlihat seperti seorang bocah. Saat itu aku
sadar, kalaupun perilaku malam itu aku dikatakan tidak dewasa, maka aku pun
mengakuinya sebagaimana yang aku tuangkan saat itu. Tapi hadirmu dihadapanku
membuat semua egoku tak ada apa-apanya, yang ada hanyalah kembali untuk
tersenyum, menikmati sisah pertemuan yang sangat elok itu. Kata maaf yang kau
keluarkan dari bibirmu malam itu mematahkan dan melebur semua racun yang
mengendap pada tubuhku. Aku terharu, melihat tingkahmu seperti seorang malaikat
yang turun dari biafra, tak tahan aku meninggalkanmu sebentar, dengan alasan “Mau
ke kios beli rokok,” nyatanya tidak demikian, aku hanya menghindar dari tatapan
malaikat malam itu, aku tak mampu menatap kedua matamu yang tengah memberikan
ribuan kenyamanan yang setelah itu aku patahkan dengan keegoisanku. “Maaf,” kata
batinku.
Air mata turun pengganti matahari yang terbit dari fajar hingga
senja. Tangisanmu mengalahkan kemenangan egoku. Bahkan, aku hanya duduk
menunduk, kau mengembalikan kenikmatan itu seketika, setelah aku mematahkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar