Nawala Patra

Minggu, 30 Oktober 2016

Salam Lintas

Pers kampus dan pesonanya untuk mahasiswa adalah tugas mulia seorang wartawan kampus.

Kalau katong sering bicara soal fungsi dan tanggung jawab pers. Berarti katong harus tau pelaksanaannya. Kalau pers sebagai mata dan telinga rakyat saja sudah buta dan tuli, bagaimana masyarakatnya. Bagaimana mahasiswanya.

Sekalipun katong Pers Mahasiswa bukan berarti katong harus patut terhadap sistem. Seng semua sistem diatur menjurus kepada kebaikan. Ketidakbaikan itu ditanamkan sebagai sikap skeptis kita, wartawan kampus. Minimal, katong bisa mendidik mahasiswa dengan informasi yang akurat dan berimbang. Ketika mahasiswa bodoh, tidak perlu salahkan dosen atau mahasiswanya. Salahkan pers-nya. Berdasarkan satu dari empat fungsi yang diemban.

Karena orang masih lebih percaya pers di kampus dibanding pers atau media mainstream. Tugas pers sebagai pendobrak sistem dan penganutnya yang korup. Pers mahasiswa harus tajam, karena selain sebagai fungsi kontrol, kita adalah seorang akademisi. Jangan berduka kalau kebenaran menjadikan seorang wartawan dianggap delik pers. Di dalam sistem ada aturan-aturan lain.

Di antara aturan-aturan yang ada, tidak semua aturan menawarkan kebaikan, karena di dalamnya ada uneg-uneg yang mampu menyimpang. Kalau analisa ini salah, tidak mungkin kita mengalami kehilangan di "kamar" kita sendiri.

Kalau redaksi Lintas masih cengeng, ganti nama saja. Kalian dididik dengan pengetahuan yang berbeda. Pengetahuan akademisi dan cara bertindak kreatif.

Ketajaman pena harus lebih tajam dari mata elang. Kalian bukan generasi shelfie, generasi-generasi manja. Marco harus di buang di Digul karena mengkritisi rakyat Jepang dan Belanda. Pramoedya menyingkap sisi gelap Orde Lama--Orde Baru, Mochtar Lubis,-- dan masih banyak wartawan-wartawan lain yang mampu mengajari kita untuk berkata tidak!

Maksud mengkritik berarti tidak menginginkan hal kemarin dijajakan kembali, dipraktek--dan selanjutnya. Kalau masih seperti kemarin, baju pers, id card, tidak berdosa dibakar.

Karena baju pers dipasung berarti bersedia untuk mengontrol, menganalisis, mendengar, melihat, mengumpulkan, menulis, meng-edit, sebarkan di publik. Bukan sekedar gaya-gaya. Oleh karena itu menulis, dengan bahasa paling jujur.

Salam Pers!

Semacam Repartian

Begitulah kita mengenal malam
Dari biji-biji yang dipetik pagi sampai petang
Begitulah kita mengenal pagi
Dari mulut dusta, kita mendengarnya hingga petang

Kita adalah pengagum repartian di negeri orang
Kitalah sendiri mengusung repartian itu
Dari pagi sampai petang

Sebentar lagi kita pulang
Masihkah kita pergi pagi; pulang petang?
Memetik biji, merayakan malam
Sebentar lagi kita keluar, mendengar ocehan dusta

Begitulah kita mengenal malam
Sampai petang enggan kita tahu
Kita pengagum repartian
Sekalian pengelana bagi riwayat dusta

Kita adalah batu repartian
Menunggu bau dan aroma pagi
Itu tak mungkin tercium
Selain dusta di petang hari

Dari biji-biji yang dipetik pagi sampai petang
Dari mulut dusta, kita mendengarnya hingga petang
Sudahlah! Kita adalah batu repartian
Sebentar lagi diboyong pulang

Berdengung tentang serangkaian upacara repartian
Sampai selesai, kita enggan berbatu repartian
Yang dikeramatkan, kitalah biji yang dipetik pagi
Sampai pulang petang

Sebentar, masih ada dusta di sana!

Jakarta, 29 September 2016

Menolak Tuhan

Tuhan dalam pikiran seorang ateis memiliki nilai yang berbeda, dari pikiran dangkal seorang ahli agamawan tentang Tuhan.

Seorang yang cenderung menyebut dirinya ahli agama, kerap mengimani Tuhan dalam demarkasi terhadap manusia lainnya. Garis yang diciptakan sebagai pembatas. Bahwa Tuhan adalah kebenaran bagi sekelompok agamawan. Bukan Tuhan untuk kebenaran bagi seluruh alam. Artinya, kebenaran tentang Tuhan hanya ada pada kelompok yang menamakan mereka sebagai agamawan tanpa pertimbangan masak.

Klaim kebenaran menjadi tumpah-tindih, klaim Tuhan sebagai pemilik individu dan sekelompok orang, finalnya Tuhan telah dikelompokan. Menolak Tuhan-lah, untuk mengimani Tuhan bagi seluruh alam. Bukan Tuhan sekelompok manusia.

Orang-orang agamawan cenderung menolak kebenaran itu, menurut logika dan pikiran yang dibentuk berdasar hitamnya demarkasi. Si agamawan kerap menjadi ganas dan bringas, mengecam, mengancam, bahwa Tuhan dalam kebenarannya, bukan Tuhan yang dipikirkan seorang ateis.

Padahal Tuhan sendiri pesimis melihat ganas, bringas, ancaman, dan kecaman--terhadap suatu kaum. Tuhan anti terhadap pikiran yang diperbudak dengan langkah-langkah bengis manusia, yang mengaku dirinya sekelompok agamawan. Mengaku kematian sebagai seorang suhada, dan konstruksi pikiran tantang Tuhan dibentuk dalam kesimpulan-kesimpulan nisbi.

"Loh, kamu tidak boleh memilih partai itu, hukumnya haram, tidak boleh minum di gelas  bergambar Yesus, 'ntar kafir loh," dengan sendirinya mereka mengambil kebijakan Tuhan--untuk mengkafirkan manusia lain. Tuhan disengketakan dalam corak berpikir seorang agamawan, Tuhan dibentuk dari logikanya, Lantas siapakah Tuhan itu?

"Apakah Tuhan datang dengan sepenggal surat, kemudian menyatakan, 'jadilah kalian tangan kananku', untuk menghukum, menghujat siapa saja, yang berbeda?" Di mana kekuasaan Tuhan yang sesungguhnya. Seandainya Tuhan demikian, maka Tuhan itulah yang diciptakan manusia, bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Menolaklah ber-Tuhan seperti mereka yang menamakan diri sebagai agamawan itu.

Mengutip penyair Veda di India yang ditulis Rabindranath Tagore. Tuhan dari inti kepedihannya menciptakan semua yang kini ada. (Hartono, 2002:39).

Semua yang bergerak dan mati pun diakui Tuhan, tapi dengan dangkal separuh orang-orang yang menyatakan dirinya agamawan menolak itu. Mereka dengan kesimpulannya bertekad menolak Tuhan dalam kelebihan yang dibatasi oleh pengetahuan.

Mencintai sesama, berbagi, melindungi adalah jawaban manusia-manusia yang berpikir tentang keyakinan dan Tuhan secara logis. Bukan bersikap parsial terhadap suatu penciptaan yang dianggap berbeda. Kelebihan manusia adalah kemampuan memberi kesimpulan, menerima corak warna. Menciptakan Tuhan dalam pikiran mistik adalah tindakan yang berlebihan.

Tuhan seakan-seakan dianggarkan untuk memenangkan sebuah kompetisi, membedakan sesuatu yang selaras. Yang seharusnya dipertahankan sebagai kebutuhan. Dijadikan sebagai alat untuk memerangi perbedaan.

Dan keberadaan ateis adalah ideolgi yang dibentuk oleh pikiran manusia lain, bukan berdasar pada apa yang telah dituturkan dalam kitab Tuhan. Ada orang-orang yang dianggap ateis, sementara dia tidak berpikir bahwa dia seorang ateis. Jelas! Karena ateis adalah logika yang dibangun oleh ideologi sekelompok orang.

Dalam kitab-kitab Samawi, Tuhan tidak mengklaim adanya sekelompok ateis, tetapi ateis sendiri diciptakan berdasarkan pemahaman manusia. Padahal, bisa saja pemahaman itu dibangun oleh kelompok, lingkungan,  bukan keyaninan, bukan kebenaran, bukan pesan dari langit yang sesungguhnya.

Tuhan pun risau. Gelisah, mengapa manusia memusatkan pikiran terhadap objek yang bukan bagian dari pada urusannya, yang dijadikan landasan orang-orang agamawan. Dan mengambil peran Tuhan sebagai manusia abadi. Manusia abadi, orang-orang yang berpikir tentang pandangan orang lain dalam meyakini keadaan Tuhan, tanpa memuliakan penciptaannya, yang sosial. Bukan asosial.

Karena yang menyesatkan manusia, adalah bagaimana dia berpikir tentang kesesatan untuk menyesatkan. Kebenaran Tuhan, bukan sekadar dipenjarakan dalam terali-terali logika yang dangkal, yang diyakini dengan menolak penciptaan yang lain. Menerima perbedaan adalah hukum Tuhan yang tidak bisa ditawar.

Ketidak-Tuhan-an seorang ateis, adalah kesimpulan seorang agamawan yang dangkal.


Jakarta, 2 September 2016.

Minggu, 16 Oktober 2016

Melawat “Jalan”-Nya

Foto: Kompas Masohi
Aku mendengar kabar kematianmu Nanda, ada duka dan bahagia. Karena kematian sudah menjadi tujuan akhir kehidupan manusia.

Tidak ada manusia yang menginginkan kematian mendahului nasib. Kepergianmu hari ini, bukan kemauanmu. Tidak juga keinginan orang-orang dekatmu. Tapi itu sudah menjadi catatan harian yang ditulis oleh penikmatnya, di mana dia sendiri tidak bisa membacanya. Siapa pun mahluk itu, pasti menemukan jalan yang sama, jalan kematian. Siapa yang bisa mengelak dari panggilan kematian?