Nawala Patra

Sabtu, 12 November 2016

Pasir

Hanya pasir di pantai
Terbaring terombang-ambing
Ombak ganas rindu tutur canda
Pantai, kosong diam sepih

Semua berlalu, hanya pasir
Ombak merintih jauh
Pasir sendiri berkelut duka
Ombak tadi beriak nanar

Pasir kemarin berlalu tadi
Wahai syahdu, hanya pasir
Di pesisir kemarin bising
Tertawa, sedang merintih ditunggu

Hanya pasir di pantai
Berteman ombak berlalu
Duka, nanar, ombak pulang ....
Pasir, diam dan kumal

Batavia - 13 November 2016

Rabu, 02 November 2016

Teleuna

Hutan itu sahabat
Di hutan aku berteman ketakutan
Lembah-lembah menjulang di antara punggungan bukit

Ah! Aku hilang, sedetik pun maju detak jantung berdetak ketakutan
Irama biofera mendesau, Teleuna adalah ketakutanku

Ketakutanku mengawali tapak kaki berjejak
Aku kembali mundur pada petualangku
Di punggungan bukit serba-serbi ketakutan meluap
Aku menjadi lebih takut. Walaupun hutan itu sahabatku

Teleuna yang menjulang di atas ketinggian seribu
Aku meniru ketakutan yang bias dari perlawanan jejak-jejak kaki
Aku hilang! Memutar mundur langkahku menjenguk awal tapak kaki

Di antara segumpal stepa yang perawan
Rumput-rumput biru bak samudera luas nan biru
Awan mengepung hingga menjadi tirai, seketika ia membungkus
Teleuna menyembur ketakutan
Aku kembali hilang dari lamunanku yang pulas

Teleuna jejak hilangku
Walaupun ia menjadi sahabat
Walaupun ia semakin akrab
Aku hilang di punggungan Teleuna

StilusMisti1<.
Ditulis saat ke Binaiya

Puisi ini terbit di floressastra.com

Itu Hujan

Hujan melirik pagi, di tengah meninggalkan malam. Namun, malam pun hujan semalam deras; Hujan menumpuk derasnya. Nantikah hujan itu menyurut pada petang? Tak ada alibi, mengapa sampai petang.

Tanpa seberkas alasan, mengapa hujan turun. Hujan bercucuran pada bumi gersang. Meletup dan basah, yang tumbang di hutan jadi petaka bumi yang asri. Itu rahmat. Itulah hujan…

Hujan turun di bantaran sungai, ada rahmat ada petaka. Hujan turun pada bongkahan tanaman. Itulah rahmat.

Amalatu, 1 April 2016
StiLusmistic1<.

Puisi ini terbit di floressastra.com

Aku, Penikmat Kopi

Hujan di luar sana menggugat. Dari angin, percikan kecil menetes, sampai yang lebat dan hebat. Potret hujan malam ini membunuh akal, langkah.

Tapi aku dan secangkir kopi tak mau mengelak. Menutup mata dari amukan hujan. Kopi hitam pun pantang berkurang. Tugasnya menghapus segumpal dingin membeku di tubuh.

Bukan hanya kopi rupanya. Masih ada sebatang rokok. Filter, racikan cengkeh itu menyatu memberikan aroma khas. Membunuh jari-jemari yang kaku, badan yang terus menggigil, jari kaki melipat-lipat.

Filter dan racikan kopi hitam bercerita tentang dawainya asmara bersama hujan. Menghidupkan segudang cerita di simpang jalan. Mematikan semua pikiran alot dan dekil malam ini.

Karena aku hanya berpikir: mengapa Tuhan turunkan hujan? Sementara orang tak berpayung masih mengais hidup di jalanan, emperan pasar, bangunan-bangunan tuah yang reyot mendekat roboh.

Ah, aku hanya berpikir yang rumit-rumit. Mungkin Tuhan telah menjanjikan kehidupan di balik hujan.

Biarlah! Cukup aku nikmati pekatnya kopi, manisnya racikan filter sambil mengenang hujan yang berlalu dua menit terakhir.

Ambon, 15 April 2016
StiLusmistic1<.

Puisi ini pernah terbit di floressastra.com