Nawala Patra

Kamis, 22 Oktober 2015

Pendidikan Sepahit Kopi Tanpa Gula

    Di jalanan, hidupku berteman sepeda, mengelilingi lorong-lorong kecil. Menghabiskan usia kekanakanku, semua itu ku lalui di pasar, tempat orang tuaku mengais rezeki. Pendidikan sebagai masa depan telah ku tinggalkan, aku tak perlu sekolah karena kedua orang tuaku tak mampu membayar ongkos sekolah. Potret kehidupan yang tergambar dari lakon seorang bocah di pasar Batu Merah.
   
    Pasar tersebut merupakan pasar tradisional masyarakat di kota Ambon, berbagai macam kebutuhan sehari-hari dijual di sini. Mulai dari sembako hingga kebutuhan lainnya. Berbagai macam kebutuhan hidup bisa didapatkan di sini. Para pedagang kerap tidak memperdulikan waktu. Tak ada batas yang menyangga para pedagang untuk tetap berjualan. Tuntunan hidup memaksa mereka untuk melakukan apa saja, bukan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi, melainkan sebagai tunjangan pendidikan untuk anak, sehingga mereka kerap menghabiskan malam demi meraih mimpi anak-anak mereka. Tetapi tak semua orang yang berjualan di Arumbai mampu memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anaknya. Sebab, keuntungan yang mereka dapatkan belum bisa dikatakan mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi membiayai anaknya yang bersekolah.
   
    Hidup seolah perlombaan, orang-orang bertarung untuk mencapai kemenangan, melawan ganasnya malam, tak peduli berapa suhu udara yang menyebabkan mereka tertimpa sakit, tak perduli kapan mereka tidur. Siklus kehidupan yang terus mengintai mereka, pedagang kaki lima.
   
    Andik, anak dari seorang pedagang kaki lima, seolah bangga memiliki sebuah sepeda, walaupun tanpa rem. Lorong kecil tempat para pedagang berjualan, disitulah lintasan Andik melaju tanpa memperdulikan keselamatannya. Bocah berambut pirang itu tampak ramah bersama sepedanya, berlalu-lalang di tengah keramaian mobil, sepeda motor, maupun pengunjung yang sibuk belanja. Selain mengemudi sepeda, bocah ini punya hobi yang sama seperti anak-anak lainnya, bermain play station adalah aktivitasnya di siang hari.
   

    Andik baru berusia sepuluh tahun, usia di mana ia harus menerima pendidikan di sekolah, tetapi hal itu tak semuda membalik telapak tangan. Ia merasa pendidikan bukan bagian dari anak seorang pemulung. Hal ini mengakibatkan sang bocah menghabiskan waktu bercumbu bersama sepedanya.
   
    Ayahnya bekerja sebagai seorang pemulung plastik, untuk menghidupi keluarganya, Ia relah menghabiskan waktu melawan ganasnya matahari, bahkan pekerjaan ini dilakoni hingga senja terbenam pada bibir langit yang terbentang, hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Berjalan menempuh jarak yang tak pernah ia hitung, bahkan waktu pun tak pernah ia kenal. Langkah kaki terus mengayuh menyusuri tempat sampah, disanalah kehidupannya, berusaha mencari plastik bekas yang terbuang di simpang jalan. Akhirnya, dari pendapatan ayahnya, Andik, bocah berteman sepeda itu, enggan untuk disekolahkan.
   
      "Di kampung saya pernah sekolah," kata bocah berambut pirang, saat ditanya seorang lelaki yang mendatanginya. "Terus, kenapa tidak sekolah lagi," lelaki itu kembali bertanya penuh rasa penasaran. Tiba-tiba Andik pun menunduk bungkam. Tak ada sepatah kata dari bibir mungilnya. Beberapa menit kemudian, bocah itu kembali mengangkat wajahnya, sembari memandang lelaki yang ada dihadapannya. Mereka saling bertatap, diantara mereka masih banyak orang yang sibuk berlalu-lalang, suasana malam itu ramai, tetapi senyap, hanya berteman malam yang gulita. Lampu-lampu yang bertengker di tenda-tenda para pedagang, rasanya mesra menemani tuannya.
   
    "Aku, tidak sekolah karena orang tuaku tak punya uang !" Kata Andik spontan, saat mereka berdua dalam diam. Lelaki itu tersentak kaget mendengar perkataan Andik, sehingga ia pun berfikir untuk bertanya lebih banyak tentang bocah yang berteman sepeda itu. "Lalu, apa pekerjaan ayahmu ?" "Memunggul plastik bekas." Kata Andik, mendengar ceritanya, lelaki itu terdiam sejenak, sambil menatapnya dalam-dalam.
   
    Minimnya ekonomi, menghapus cita-cita setiap anak bangsa yang ingin sekolah, padahal pendidikan adalah suatu cara untuk memanusiakan manusia, untuk mencapai kehendaknya sebagai manusia yang dimanusiakan. Ditengah keramaian pasar, mereka berdiri berhadapan seperti serdadu menghadap tuannya. Lelaki itu kembali bertanya, "Apa yang dijual ibu di pasar ?" "Buah pepaya dan buah nangka yang dijadikan untuk sayur !" Andik tak segan menjawab setiap pertanyaan, seakan ia menikmati setiap bait pertanyaan dari lelaki yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu.

    Andik memiliki dua orang kakak yang senasib dengannya, mereka tak menempuh pendidikan seperti anak-anak lainnya. "Aku memiliki dua orang kakak, tetapi mereka juga tidak sekolah." Katanya. Potret yang dirasakan oleh keluarga Andik memaksakan mereka  hidup tanpa pendidikan. Padahal, pendidikan adalah hak bagi semua anak bangsa.

    Kala itu, malam semakin larut, mobil, sepeda motor, bahkan pengunjung pun terlihat sepi, sebagian para pedagang dengan sibuk bergegas merapikan tempat jualan, sebagian dari mereka masih tetap menunggu, duduk melankolis, menjaga barang dagangan mereka. Suasana pasar tak seramai awal pertemuan mereka. Namun, suasana malam itu tidak menarik simpati mereka untuk beranjak dari lorong-lorong tempat mereka berdiri.

    Dulunya, pendidikan sepahit kopi tanpa gula, sangat pahit. Tak ada rasa yang lain menyaingi pahit pendidikan zaman dulu. Kepincangan yang terulang kembali, hingga mereka, orang-orang seperti Andik harus menikmati pahitnya pendidikan yang digagas pada abad sebelumnya. Kemoderenan hanya dikenal untuk orang yang bergaun hedonis, bukan untuk mereka yang seharusnya mendapatkan pendidikan. Padahal, perkembangan teknologi diabad ini, membutuhkan orang-orang yang berpendidikan. Apakah pendidikan tak berpihak untuk mereka kaum proletar ? Sebuah peristiwa silam yang diperingati diera modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar