Nawala Patra

Sabtu, 04 Juni 2016

Memoar Tahun Juni

Foto: Ihsan Reliubun
Fitri Indralia Mossy, Air Tebing Desa Yaputih Maluku Tengah. Maluku
           Kemarilah Aku dan Kau melengkapi abjad-abjad yang putus—meski kita harus menyulamnya berkali-berkali. Meski abjad-abjad itu berupa teks klasik yang konon-katanya tak ada benang penyambung, penghubung. Biarkan kita menjadi penghubung.

Konon-katanya, kita adalah selembar sutra yang sering Kau kenakan ke mana-mana. Entah itu biru, hijau, kuning, orens. Bahkan semerah darahku yang jatuh menetes. Kenakan sulamnya, di sana ada kehidupan. Aku sendiri tak peduli, Kau pernah menyobek benang-benang lusuh itu, Kau bunuh--dan hasut intuisiku. Memori di tahun Juni semacam mitos. Ah, pelik sekali mengenangnya.
Mari kita menjahit makna-makna lusuh kemarin. Mungkin saja itu belum selesai. Mungkin saja padam sebelum tamat. Dan kalaupun kehendaknya padam sebelum tamat. Aku, silahkan Kau bunuh. Sekali lagi, Aku, silahkan Kau bunuh. Kemarilah, tak seorang pun tau abjad-abjad itu mati, Aku tak mau hasratku tenggelam dan padam. Hingga akhirnya kita semakin kusut, lusuh. Benang penghubung itu—dan abjad yang belum berpapasan lengkap, mari damaikanya dengan sulaman cinta penuh jatmika.
Kita seolah-olah sutra kusut bagi sipongah. Sederet orang-orang di apartemen. Sutra-sutra itu diganti, tidak perlu dijahit kembali. Tapi, kitalah hidup untuk mewujudkannya. Cinta itu pahit ketika bukan pada penikmatnya. Kopi itu hitam dan pahit, jika bukan pada penikmatnya. Semua itu enggan menjadi pongah ketika jiwa tak pernah diabadikan pada tempatnya.
Kau pun rasa, semua melalui benang-benang penghubung tadi. Bahkan, Aku tidak menurutinya untuk lusuh berlubang. Kecemasan kemarin itu klimaks. Aku 'tak menghendakinya untuk kali ini. Aku mau memulainya dengan cara yang baru; Cara kita sendiri. Ketika itu Kau nyaman, Aku pun 'tak terusik lagi. Itulah hikayat cinta para nabi. Itulah hikayat cinta sang Yesus. Itulah hikayat cinta mereka, tetangga Tuhan. Anak-anak Tuhan.
Bagaimana cara menyulam sutra yang sobek terkupas. Karena itu, Aku menyamakan tarafku seorang “penzina”. Bukan tentang seorang pendosa dalam methodos modern. Aku penzina, untuk menghubungkan benang-benang kusut yang sempat rusuh. Bahkan penghuni alam cemburu menyaksikan kedamaian itu.
***
Bagiku, pengalaman serta pengetahuan sebagai jatmika untuk mengenang. Kenangan yang terlampau jauh. Kenangan yang tertinggal waktu—dan berlalu selepas tahun lalu. Tinggalkan benang-benang lusuh itu. Tinggalkan semuanya, biarkan saja menjadi mitos. Kau dan Aku mesti menjadi gunung; di sana ada keindahan, kehidupan para biofera. Mari menjadi laut: dalam dan hidup sejuta kehidupan. Bukankah itu yang disebut cinta. Cinta adalah rumah bagi pemuja yang menghuni. Kitalah mahluk penghuni itu.
Perempuanku. Kau, adalah gambaran dari hari esok, sejak dini, saat ini. Simponi di bulan Juni lalu tidaklah habis. Ada Juni-Juni akan datang. Berarti ada damai yang lebih berarti dari hari ini. Jika hidup hari ini menunggu mati. Biarkan catatan di Tahun Juni sebagai memorian kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar