Foto: Ihsan Reliubun Fitri Indralia Mossy, Air Tebing Desa Yaputih Maluku Tengah. Maluku |
Kemarilah Aku dan Kau melengkapi abjad-abjad
yang putus—meski kita harus menyulamnya berkali-berkali. Meski abjad-abjad itu
berupa teks klasik yang konon-katanya tak ada benang penyambung, penghubung. Biarkan
kita menjadi penghubung.
Konon-katanya, kita adalah selembar
sutra yang sering Kau kenakan ke mana-mana. Entah itu biru, hijau, kuning,
orens. Bahkan semerah darahku yang jatuh menetes. Kenakan sulamnya, di sana ada
kehidupan. Aku sendiri tak peduli, Kau pernah menyobek benang-benang lusuh itu,
Kau bunuh--dan hasut intuisiku. Memori di tahun Juni semacam mitos. Ah, pelik
sekali mengenangnya.
Mari kita menjahit makna-makna lusuh
kemarin. Mungkin saja itu belum selesai. Mungkin saja padam sebelum tamat. Dan
kalaupun kehendaknya padam sebelum tamat. Aku, silahkan Kau bunuh. Sekali lagi,
Aku, silahkan Kau bunuh. Kemarilah, tak seorang pun tau abjad-abjad itu mati,
Aku tak mau hasratku tenggelam dan padam. Hingga akhirnya kita semakin kusut,
lusuh. Benang penghubung itu—dan abjad yang belum berpapasan lengkap, mari
damaikanya dengan sulaman cinta penuh jatmika.
Kita seolah-olah sutra kusut bagi
sipongah. Sederet orang-orang di apartemen. Sutra-sutra itu diganti, tidak
perlu dijahit kembali. Tapi, kitalah hidup untuk mewujudkannya. Cinta itu pahit
ketika bukan pada penikmatnya. Kopi itu hitam dan pahit, jika bukan pada penikmatnya.
Semua itu enggan menjadi pongah ketika jiwa tak pernah diabadikan pada
tempatnya.
Kau pun rasa, semua melalui
benang-benang penghubung tadi. Bahkan, Aku tidak menurutinya untuk lusuh
berlubang. Kecemasan kemarin itu klimaks. Aku 'tak menghendakinya untuk kali
ini. Aku mau memulainya dengan cara yang baru; Cara kita sendiri. Ketika itu
Kau nyaman, Aku pun 'tak terusik lagi. Itulah hikayat cinta para nabi. Itulah
hikayat cinta sang Yesus. Itulah hikayat cinta mereka, tetangga Tuhan.
Anak-anak Tuhan.
Bagaimana cara menyulam sutra yang
sobek terkupas. Karena itu, Aku menyamakan tarafku seorang “penzina”. Bukan
tentang seorang pendosa dalam methodos
modern. Aku penzina, untuk menghubungkan benang-benang kusut yang sempat rusuh.
Bahkan penghuni alam cemburu menyaksikan kedamaian itu.
***
Bagiku, pengalaman serta pengetahuan sebagai jatmika
untuk mengenang. Kenangan yang terlampau jauh. Kenangan yang tertinggal waktu—dan
berlalu selepas tahun lalu. Tinggalkan benang-benang lusuh itu. Tinggalkan
semuanya, biarkan saja menjadi mitos. Kau dan Aku mesti menjadi gunung; di sana
ada keindahan, kehidupan para biofera. Mari menjadi laut: dalam dan hidup
sejuta kehidupan. Bukankah itu yang disebut cinta. Cinta adalah rumah bagi
pemuja yang menghuni. Kitalah mahluk penghuni itu.
Perempuanku. Kau, adalah gambaran dari hari esok,
sejak dini, saat ini. Simponi di bulan Juni lalu tidaklah habis. Ada Juni-Juni
akan datang. Berarti ada damai yang lebih berarti dari hari ini. Jika hidup
hari ini menunggu mati. Biarkan catatan di Tahun Juni sebagai memorian kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar