Nawala Patra

Kamis, 18 Agustus 2016

Sarif dan Sebongkah Sampah

Sarif (65), memikul barangnya saat beranjak dari tempat sampah. Rabu, (17/08/2016).
Syarif (65), bertahun-tahun menjadi pemulung. Sejak tahun '89 ia bertualang di tempat-tempat sampah. Dari pagi sampai malam, ia mengumpulkan plastik, alumanium, kertas, untuk membiayai anaknya yang sedang kuliah.

Saya bertemu lelaki paruh baya itu di Kebun Cengkeh, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, depan bengkel Latansa. Rambutnya sepanjang bahu, dililit dengan karet. Memakai topi, kameja, dan celana panjang--semuanya serba hitam.

Sarif kelahiran Pulowali Mandar, Sulawesi Barat. Setelah berhenti dari pekerjaannya di kapal penampung tuna, KM. Pulau Adi, ia mulai menguji nasib di atas tumpukan sampah. "Yang penting halal, bang." Kata Sarif sambil menenteng barangnya.

Mencapai 17 tahun, Sarif mengelilingi tempat sampah di kota Ambon. Sarif enggan untuk ditolong, ketika saya menawarkan memuat barang bawaannya dengan sepeda motor. "Tidak apa-apa, saya jalan saja. Barangku tidak berat, kok." Katanya.

Ia sering memikul barang dengan berat 40-50 kilogram di karung. Ia punya alasan mengapa lebih memilih jalan kaki. "Kadang, angkutan tidak mau memuat barang saya," ujar lelaki yang berkediaman Kampung Jawa, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.

Lelaki rambut gondrong itu bercerita tentang perilaku baik para pejabat. Salah satunya, mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy. "Pernah, saat ketemu saya, langsung saya dikasih uang," tutur Sarif mengenang Richard.

Malam pun temaram, hidung-hidung menghidu aromanya. Ada yang harus menutup hidung saat melewati jalan dekat tempat sampah itu. Tetapi Sarif, tetap bersikap ramah. Seakan sampah adalah penentu hidupnya.
Tiba-tiba mata saya tertuju ke arahnya, saat mendengar bunyi pecahan botol. Ternyata, seorang lelaki berjubah putih, dengan kupiah, berjenggot, melempar botol-botol kosong ke tengah tempat sampah. Saya melihat Sarif terkejut, tapi ia hanya diam. Tidak perduli dengan sikap lelaki berjubah itu. Seketika lelaki itu memutar badan berjalan ke arah toko UD. Amin dan menghilang.

Sarif bercerita banyak mengenai keluarganya. Istirinya meminta cerai setelah melaporkan sikap Sarif ke pemimpin perusahan. Dan kebijakan perusahan, ia diberhentikan. Adapun alasan mengapa istrinya bersikap demikian. "Dulu, saya suka minum (mabuk). Tetapi bukan dengan gaji saya. Gaji selalu utuh, saya berikan untuk istri," katanya sembari menyulut rokoknya.

Sebagai pemulung, Sarif selalu kembali ke rumahnya saat larut malam. Selain untuk hidupnya, juga untuk biaya kuliah putrinya. "Saya membiayai anak saya. Dia sedang kuliah." Katanya.

Setelah berkisah, Sarif pun mulai bergegas. Dengan sebongkah barang di karung, kita menyebrang jalan sembari menyetop mobil. Saya menyuruh Sarif naik ke mobil, dan karung pun saya susulkan bersamanya, walaupun muka si supir masam, Sarif tetap santai. "Terima kasih, Ihsan." Tuturnya, sembari melaju dengan mobil tumpangannya.


Penulis: Ihsan Reliubun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar