Foto: Kompas Masohi |
Aku mendengar kabar kematianmu Nanda, ada duka dan bahagia. Karena
kematian sudah menjadi tujuan akhir kehidupan manusia.
Tidak ada manusia yang menginginkan kematian mendahului nasib.
Kepergianmu hari ini, bukan kemauanmu. Tidak juga keinginan orang-orang
dekatmu. Tapi itu sudah menjadi catatan harian yang ditulis oleh penikmatnya,
di mana dia sendiri tidak bisa membacanya. Siapa pun mahluk itu, pasti
menemukan jalan yang sama, jalan kematian. Siapa yang bisa mengelak dari
panggilan kematian?
Nanda, kematian bukan sebuah ornamen yang bisa dirancang, diukir, dipahat
oleh seorang arsitek atau seniman. Di situlah keterbatasan manusia untuk
menebak ‘benda” yang satu ini. Mati dan hidup tidak bisa dirancang, dia hanya
bisa ditulis oleh pemilikNya, Tuhan.
Bagiku kematian itu kedekatan, juga jarak yang tidak mampu diukur oleh
siapa pun. Dan hanya bisa akrab ketika mendekap pada mahluk. Nanda, kepergianmu
hari ini adalah keharusan, bukan keinginanku mengatakan itu, bukan juga harapan
orang-orang dekatmu. Itu sudah menjadi keharusan yang tak bisa ditebak dengan
rumus matematika, fisika, kimia bahkan rumus yang jatuh dari langit.
Aku menulis kalimat-kalimat ini bukan dengan air mata, walaupun sedikit
haru menggelegar, sesungguhnya bahagia adalah kawanku di hari kepulanganmu.
Mengapa Aku katakan ini kebahagiaan, begini Nanda, orang-orang yang hidup di
alam ini masih mencari dan berusaha menebak kapan panggilan itu datang
menyalaminya, bahkan ada yang berpikir bahwa kematian tak perlu datang untuk
merenggutnya. Tapi, Nanda telah dipertemukan dengan sesuatu yang masih menjadi
misteri manusia yang hidup. Di situ
kebenaran telah kaugenggam dan mengenakannya menuju Tuhan-mu.
Nanda, Aku pernah menemukan kepulangan di antara orang-orang dekatku
Nanda, tapi kesadaran spritualku menganggapnya sesuatu yang sempurna. Sebab
kematian merupakan kesempurnaan yang tidak dapat ditawar. Orang-orang besar, cerdas,
kaya, tua, muda, hebat sepertimu pun mengenal seruan itu sebagai panggilan yang
paling romantis. Andaikan seruan itu bisa ditawar mungkin saja Tuhan tengah
membohomgi ayat-ayatnya. Tapi tidak demikian, di situlah letak kesempurnaan
Tuhan sebagai pencipta, pemilik, sekalian berhak mengembalikanmu pada asal mula
keinginanNya.
Henny, itu namamu. Nama seorang perempuan yang tidak Aku kenal. Perempuan
yang tidak pernah bercakap langsung denganku. Bahkan kita tidak pernah saling
pandang sebelumnya. Dunia maya memperkenalkan kita dan menjadikan kita orang
yang paling akrab. Beberapa bulan lalu antara September dan Oktober 2016 Aku
membaca pesan terakhirmu, sambil menyebut namaku dengan gamang. Aku hanya
tertawa sambil menjawab pesan singkatmu. Yah, itukah kamu dahulu! Kita yang
mencoba akrab tanpa saling menggenggam tangan layaknya Aku dengan adik-adikmu. Nanda, kepergianmu hari ini membuat
orang-orang dekatmu terharu. Dengan haru, mereka mengucapkan keselamatan
perjalananmu menempuh duniamu.
Nanda, hidup pun hanyalah instrumen untuk melawan nasib. Begitu juga
kematian! Dia seperti prosa yang dihidupkan dari imajinasi, kemudian kecakapan
kontemplasi itu menjadikannya seutas roh yang hidup. Nanda telah menemukan
jalan keabadian, jalan yang bisu bagi orang-orang yang hidup.
Obituari ini hanyalah sepenggal kerinduanku untukmu. Tapi sesungguhnya
yang hidup dalam kenangan lebih besar dari semua yang tergurat dalam
kertas-kertasku. Tentang perjalananmu, kutulis untuk hari esok orang-orang
membacamu, mengenalmu, dan mendoakanmu lebih banyak dari hari ini.
Nanda, berjanjilah untuk tetap hidup dalam roh puisiku dan mengenang
bahagiamu. Aku sendiri yang berada di jantung Indonesia ini membaca pesan-pesan
kepergianmu dari orang-orang dekatmu. Dengan pesan-pesan yang mereka tulis
berupa haru dan rasa kehilangan, entah! itu utuh karena kebaikanmu? Ataukah
hanya sekadar goresan kosong. Namun, keyakinanku mengatakan bahwa itu doa yang
murni, bahwa kaupernah memberi yang terbaik di antara mereka Nanda.
Aku juga menemukan dua panggilan di handphone-ku dari ayahmu ketika
bangun tidur. Kembali kuulangi menelpon ke nomornya, tapi dia tidak menjawabnya.
Berselang satu menit dia kembali menelpon bahwa Nanda telah ber-“pulang” pada
Ahad, 16 Oktober 2016. Nanda, mungkin perjuangan kita semasa hidup tidak
menjanjikan surga, tapi dari doa-doa orang dekat kita, Tuhan memberikan surga
itu untukmu. Mungkin di sana Tuhan telah menyediakan yang baik untuk
persandinganmu dengan orang-orang kesayangan Tuhan, karena itu harapan dari
doa-doa orang yang hidup, doa-doa kita.
Suaramu yang dulu seperti nyanyian burung di pagi hari kini menjadi
redam. Siapa yang meredamnya? Siapapun tidak akan mengelak! Senyum yang pernah
mengalahkan kebencian itu selalu dikenang, dan selalu dihidupkan dalam
puisi-puisi pagi mereka. Gunung-gunung yang tinggi, sungai-sungai yang pernah
kausebrangi ikut berduka, tapi jejakmu mengakar di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar