Nawala Patra

Minggu, 16 Oktober 2016

Melawat “Jalan”-Nya

Foto: Kompas Masohi
Aku mendengar kabar kematianmu Nanda, ada duka dan bahagia. Karena kematian sudah menjadi tujuan akhir kehidupan manusia.

Tidak ada manusia yang menginginkan kematian mendahului nasib. Kepergianmu hari ini, bukan kemauanmu. Tidak juga keinginan orang-orang dekatmu. Tapi itu sudah menjadi catatan harian yang ditulis oleh penikmatnya, di mana dia sendiri tidak bisa membacanya. Siapa pun mahluk itu, pasti menemukan jalan yang sama, jalan kematian. Siapa yang bisa mengelak dari panggilan kematian?


Nanda, kematian bukan sebuah ornamen yang bisa dirancang, diukir, dipahat oleh seorang arsitek atau seniman. Di situlah keterbatasan manusia untuk menebak ‘benda” yang satu ini. Mati dan hidup tidak bisa dirancang, dia hanya bisa ditulis oleh pemilikNya, Tuhan.

Bagiku kematian itu kedekatan, juga jarak yang tidak mampu diukur oleh siapa pun. Dan hanya bisa akrab ketika mendekap pada mahluk. Nanda, kepergianmu hari ini adalah keharusan, bukan keinginanku mengatakan itu, bukan juga harapan orang-orang dekatmu. Itu sudah menjadi keharusan yang tak bisa ditebak dengan rumus matematika, fisika, kimia bahkan rumus yang jatuh dari langit.

Aku menulis kalimat-kalimat ini bukan dengan air mata, walaupun sedikit haru menggelegar, sesungguhnya bahagia adalah kawanku di hari kepulanganmu. Mengapa Aku katakan ini kebahagiaan, begini Nanda, orang-orang yang hidup di alam ini masih mencari dan berusaha menebak kapan panggilan itu datang menyalaminya, bahkan ada yang berpikir bahwa kematian tak perlu datang untuk merenggutnya. Tapi, Nanda telah dipertemukan dengan sesuatu yang masih menjadi misteri manusia yang hidup.  Di situ kebenaran telah kaugenggam dan mengenakannya menuju Tuhan-mu.

Nanda, Aku pernah menemukan kepulangan di antara orang-orang dekatku Nanda, tapi kesadaran spritualku menganggapnya sesuatu yang sempurna. Sebab kematian merupakan kesempurnaan yang tidak dapat ditawar. Orang-orang besar, cerdas, kaya, tua, muda, hebat sepertimu pun mengenal seruan itu sebagai panggilan yang paling romantis. Andaikan seruan itu bisa ditawar mungkin saja Tuhan tengah membohomgi ayat-ayatnya. Tapi tidak demikian, di situlah letak kesempurnaan Tuhan sebagai pencipta, pemilik, sekalian berhak mengembalikanmu pada asal mula keinginanNya.

Henny, itu namamu. Nama seorang perempuan yang tidak Aku kenal. Perempuan yang tidak pernah bercakap langsung denganku. Bahkan kita tidak pernah saling pandang sebelumnya. Dunia maya memperkenalkan kita dan menjadikan kita orang yang paling akrab. Beberapa bulan lalu antara September dan Oktober 2016 Aku membaca pesan terakhirmu, sambil menyebut namaku dengan gamang. Aku hanya tertawa sambil menjawab pesan singkatmu. Yah, itukah kamu dahulu! Kita yang mencoba akrab tanpa saling menggenggam tangan layaknya Aku dengan adik-adikmu.  Nanda, kepergianmu hari ini membuat orang-orang dekatmu terharu. Dengan haru, mereka mengucapkan keselamatan perjalananmu menempuh duniamu.

Nanda, hidup pun hanyalah instrumen untuk melawan nasib. Begitu juga kematian! Dia seperti prosa yang dihidupkan dari imajinasi, kemudian kecakapan kontemplasi itu menjadikannya seutas roh yang hidup. Nanda telah menemukan jalan keabadian, jalan yang bisu bagi orang-orang yang hidup.

Obituari ini hanyalah sepenggal kerinduanku untukmu. Tapi sesungguhnya yang hidup dalam kenangan lebih besar dari semua yang tergurat dalam kertas-kertasku. Tentang perjalananmu, kutulis untuk hari esok orang-orang membacamu, mengenalmu, dan mendoakanmu lebih banyak dari hari ini.

Nanda, berjanjilah untuk tetap hidup dalam roh puisiku dan mengenang bahagiamu. Aku sendiri yang berada di jantung Indonesia ini membaca pesan-pesan kepergianmu dari orang-orang dekatmu. Dengan pesan-pesan yang mereka tulis berupa haru dan rasa kehilangan, entah! itu utuh karena kebaikanmu? Ataukah hanya sekadar goresan kosong. Namun, keyakinanku mengatakan bahwa itu doa yang murni, bahwa kaupernah memberi yang terbaik di antara mereka Nanda.

Aku juga menemukan dua panggilan di handphone-ku dari ayahmu ketika bangun tidur. Kembali kuulangi menelpon ke nomornya, tapi dia tidak menjawabnya. Berselang satu menit dia kembali menelpon bahwa Nanda telah ber-“pulang” pada Ahad, 16 Oktober 2016. Nanda, mungkin perjuangan kita semasa hidup tidak menjanjikan surga, tapi dari doa-doa orang dekat kita, Tuhan memberikan surga itu untukmu. Mungkin di sana Tuhan telah menyediakan yang baik untuk persandinganmu dengan orang-orang kesayangan Tuhan, karena itu harapan dari doa-doa orang yang hidup, doa-doa kita.

Suaramu yang dulu seperti nyanyian burung di pagi hari kini menjadi redam. Siapa yang meredamnya? Siapapun tidak akan mengelak! Senyum yang pernah mengalahkan kebencian itu selalu dikenang, dan selalu dihidupkan dalam puisi-puisi pagi mereka. Gunung-gunung yang tinggi, sungai-sungai yang pernah kausebrangi ikut berduka, tapi jejakmu mengakar di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar