Nawala Patra

Minggu, 30 Oktober 2016

Menolak Tuhan

Tuhan dalam pikiran seorang ateis memiliki nilai yang berbeda, dari pikiran dangkal seorang ahli agamawan tentang Tuhan.

Seorang yang cenderung menyebut dirinya ahli agama, kerap mengimani Tuhan dalam demarkasi terhadap manusia lainnya. Garis yang diciptakan sebagai pembatas. Bahwa Tuhan adalah kebenaran bagi sekelompok agamawan. Bukan Tuhan untuk kebenaran bagi seluruh alam. Artinya, kebenaran tentang Tuhan hanya ada pada kelompok yang menamakan mereka sebagai agamawan tanpa pertimbangan masak.

Klaim kebenaran menjadi tumpah-tindih, klaim Tuhan sebagai pemilik individu dan sekelompok orang, finalnya Tuhan telah dikelompokan. Menolak Tuhan-lah, untuk mengimani Tuhan bagi seluruh alam. Bukan Tuhan sekelompok manusia.

Orang-orang agamawan cenderung menolak kebenaran itu, menurut logika dan pikiran yang dibentuk berdasar hitamnya demarkasi. Si agamawan kerap menjadi ganas dan bringas, mengecam, mengancam, bahwa Tuhan dalam kebenarannya, bukan Tuhan yang dipikirkan seorang ateis.

Padahal Tuhan sendiri pesimis melihat ganas, bringas, ancaman, dan kecaman--terhadap suatu kaum. Tuhan anti terhadap pikiran yang diperbudak dengan langkah-langkah bengis manusia, yang mengaku dirinya sekelompok agamawan. Mengaku kematian sebagai seorang suhada, dan konstruksi pikiran tantang Tuhan dibentuk dalam kesimpulan-kesimpulan nisbi.

"Loh, kamu tidak boleh memilih partai itu, hukumnya haram, tidak boleh minum di gelas  bergambar Yesus, 'ntar kafir loh," dengan sendirinya mereka mengambil kebijakan Tuhan--untuk mengkafirkan manusia lain. Tuhan disengketakan dalam corak berpikir seorang agamawan, Tuhan dibentuk dari logikanya, Lantas siapakah Tuhan itu?

"Apakah Tuhan datang dengan sepenggal surat, kemudian menyatakan, 'jadilah kalian tangan kananku', untuk menghukum, menghujat siapa saja, yang berbeda?" Di mana kekuasaan Tuhan yang sesungguhnya. Seandainya Tuhan demikian, maka Tuhan itulah yang diciptakan manusia, bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Menolaklah ber-Tuhan seperti mereka yang menamakan diri sebagai agamawan itu.

Mengutip penyair Veda di India yang ditulis Rabindranath Tagore. Tuhan dari inti kepedihannya menciptakan semua yang kini ada. (Hartono, 2002:39).

Semua yang bergerak dan mati pun diakui Tuhan, tapi dengan dangkal separuh orang-orang yang menyatakan dirinya agamawan menolak itu. Mereka dengan kesimpulannya bertekad menolak Tuhan dalam kelebihan yang dibatasi oleh pengetahuan.

Mencintai sesama, berbagi, melindungi adalah jawaban manusia-manusia yang berpikir tentang keyakinan dan Tuhan secara logis. Bukan bersikap parsial terhadap suatu penciptaan yang dianggap berbeda. Kelebihan manusia adalah kemampuan memberi kesimpulan, menerima corak warna. Menciptakan Tuhan dalam pikiran mistik adalah tindakan yang berlebihan.

Tuhan seakan-seakan dianggarkan untuk memenangkan sebuah kompetisi, membedakan sesuatu yang selaras. Yang seharusnya dipertahankan sebagai kebutuhan. Dijadikan sebagai alat untuk memerangi perbedaan.

Dan keberadaan ateis adalah ideolgi yang dibentuk oleh pikiran manusia lain, bukan berdasar pada apa yang telah dituturkan dalam kitab Tuhan. Ada orang-orang yang dianggap ateis, sementara dia tidak berpikir bahwa dia seorang ateis. Jelas! Karena ateis adalah logika yang dibangun oleh ideologi sekelompok orang.

Dalam kitab-kitab Samawi, Tuhan tidak mengklaim adanya sekelompok ateis, tetapi ateis sendiri diciptakan berdasarkan pemahaman manusia. Padahal, bisa saja pemahaman itu dibangun oleh kelompok, lingkungan,  bukan keyaninan, bukan kebenaran, bukan pesan dari langit yang sesungguhnya.

Tuhan pun risau. Gelisah, mengapa manusia memusatkan pikiran terhadap objek yang bukan bagian dari pada urusannya, yang dijadikan landasan orang-orang agamawan. Dan mengambil peran Tuhan sebagai manusia abadi. Manusia abadi, orang-orang yang berpikir tentang pandangan orang lain dalam meyakini keadaan Tuhan, tanpa memuliakan penciptaannya, yang sosial. Bukan asosial.

Karena yang menyesatkan manusia, adalah bagaimana dia berpikir tentang kesesatan untuk menyesatkan. Kebenaran Tuhan, bukan sekadar dipenjarakan dalam terali-terali logika yang dangkal, yang diyakini dengan menolak penciptaan yang lain. Menerima perbedaan adalah hukum Tuhan yang tidak bisa ditawar.

Ketidak-Tuhan-an seorang ateis, adalah kesimpulan seorang agamawan yang dangkal.


Jakarta, 2 September 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar