Nawala Patra

Rabu, 02 November 2016

Aku, Penikmat Kopi

Hujan di luar sana menggugat. Dari angin, percikan kecil menetes, sampai yang lebat dan hebat. Potret hujan malam ini membunuh akal, langkah.

Tapi aku dan secangkir kopi tak mau mengelak. Menutup mata dari amukan hujan. Kopi hitam pun pantang berkurang. Tugasnya menghapus segumpal dingin membeku di tubuh.

Bukan hanya kopi rupanya. Masih ada sebatang rokok. Filter, racikan cengkeh itu menyatu memberikan aroma khas. Membunuh jari-jemari yang kaku, badan yang terus menggigil, jari kaki melipat-lipat.

Filter dan racikan kopi hitam bercerita tentang dawainya asmara bersama hujan. Menghidupkan segudang cerita di simpang jalan. Mematikan semua pikiran alot dan dekil malam ini.

Karena aku hanya berpikir: mengapa Tuhan turunkan hujan? Sementara orang tak berpayung masih mengais hidup di jalanan, emperan pasar, bangunan-bangunan tuah yang reyot mendekat roboh.

Ah, aku hanya berpikir yang rumit-rumit. Mungkin Tuhan telah menjanjikan kehidupan di balik hujan.

Biarlah! Cukup aku nikmati pekatnya kopi, manisnya racikan filter sambil mengenang hujan yang berlalu dua menit terakhir.

Ambon, 15 April 2016
StiLusmistic1<.

Puisi ini pernah terbit di floressastra.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar