Nawala Patra

Selasa, 31 Maret 2015

“Supaya Siswa Tawuran Kata-kata”

Wawancara Billy Antoro dari Dirjen Pendidikan Dasar Depduikbud RI dengan Naning Pranoto.



“Supaya Siswa Tawuran Kata-kata”
Mataram (Dikdas): Musuh utama penulis pemula adalah stigma. Stigma bahwa kalau jadi penulis pasti akan melarat. Penulis dianggap kegiatan buang-buang waktu. Tak dapat beri penghidupan memadai.
Stigma seperti ini, menurut sastrawan Naning Pranoto, didasari pikiran materialistis. Kebanyakan dianut oleh orangtua yang memandang menulis sebagai kegiatan buang-buang waktu.

Padahal, kini, di era komunikasi, orang yang menguasai bahasa adalah penggenggam dunia. Sebab, kegitan ini dilakukan sebagai sebuah kesadaran intelektual. Naning Pranoto menjelaskan, di negara-negara maju macam Amerika Serikat dan Australia, keberadaan penulis angat dihargai oleh pemerintah.
“Di luar negeri, penulis lebih tinggi tingkatnya dari menteri. Dia dihargai, duduk paling depan. Begitu menerbitkan satu karya, tiap tahun dapat subsidi dari pemerintah,” ujar penulis ramah yang lama menetap di Australia dan mendalami bidang Academic Writing and Creative Writing di University of Western Sydney. Tidak bekerja pun, tambahnya, penulis bisa makan. Bisa berkreasi dan bepergian.
Naning Pranoto mengimbau agar dilakukan gerakan pengentasan stigma tersebut. Sudah saatnya penulis dipandang sebagai profesi mulia yang beri banyak manfaat dan perubahan pada banyak orang dan lingkungan. Pemerintah mesti memberi perhatian lebih dan kemudahan-kemudahan pada para penulis.
Menulis, kata Naning, merupakan panggilan jiwa. “Ini menyangkut perasaan, kreativitas, kesetiaan kepada bidang kepenulisan,” ucap penulis yang telah menerbitkan ratusan cerpen dan belasan novel ini. Penulis pemula harus berlatih terus-menerus untuk menenuhi panggilan jiwanya.
Menulis juga dapat membekali manusia dengan kemampuan apa saja. Bahasa, alat penulis dalam bergerak, memiliki peran sentral dalam kehidupan. Alat untuk kelanjutan hidup, kebudayaan, pendidikan, dan semua sektor lain yang berkaitan dengan aktivitas manusia. “Bahkan mimpi Anda menggunakan bahasa,” tegas Naning.
Maka, agar memiliki ‘mesiu’ tangguh, penulis harus membekali diri dengan aktivitas membaca. Tujuannya untuk memperkaya kosakata. “Orang yang menulis tiba-tiba blank karena miskin kosakata,” ungkap Naning.
Penulis pemula juga harus memiliki ambisi punya karya. Berkarya, zaman sekarang, bisa di mana saja. Terlebih media internet dan jejaring sosial memungkinkan orang untuk menuliskan apa saja isi pikiran. Laman-laman media juga menyediakan ruang khusus bagi masyarakat untuk menuliskan ide-idenya. Naning yakin, orang yang menulis ingin karyanya dibaca orang lain. “Omong kosong kalau menulis untuk diri sendiri,” sergahnya. Semakin punya banyak kesempatan unuk mengekspresikan diri, orang semakin semangat untuk berkarya.
Naning memandang perlunya keberadaan pembimbing atau tutor bagi keberlangsungan penulis pemula. Jangan sampai seperti rumput liar, katanya. Di titik ini Naning mengkritik keberadaan guru yang hanya bisa memerintahkan siswanya menulis tetapi ia sendiri tak pernah menulis untuk koran dan media lainnya. “Bagaimana dia bisa mengajar kalau dia sendiri tidak bisa melakukan,” gugatnya.
Naning mengusulkan agar sekolah mendatangkan guru tamu. Siswa dibimbing secara profesional. Guru-gurupun sebaiknya ditatar menjadi tutor.
Pentingnya menulis di mata Naning lantaran kegiatan ini mampu membentuk karakter siswa. “Pertama, disiplin. Anda tidak akan bisa menulis kalau tidak disiplin,” urainya. Kedua, ia akan bisa berbahasa bagus. Bahasa menunjukkan nilai suatu bangsa. Ketiga, cerdas. Penulis akan mencari bahan bacaan untuk melengkapi tulisannya. Jika bahan tulisannya kurang, ia akan mencarinya.
Keempat, membuka wawasan. Penulis adalah orang-orang yang selalu terdorong untuk mengetahui banyak hal. Kelima, sosialisasi. Untuk mengetahui banyak hal, penulis harus bersosialisasi dengan berbagai macam orang dan lingkungan berbeda. “Orang untuk bisa dewasa melakukan sosialisasi. Lingkungan memengaruhi sekali,” ujar Naning.
Sebagai pemakalah dalam pembekalan kepada siswa-siswi jenjang SMP peserta lomba menulis cerpen Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2012 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa 19 Juni 2012, Naning melihat banyak sekali potensi yang bersemayam dalam diri peserta. Ia berharap kegiatan ini tak berhenti sampai di sini. “Jangan kayak upacara,” katanya. Acara selesai, semua bubar dan melupakan kegiatan menulis.



“Ini bukan pekerjaan perorangan, tapi kerja tim,” ujar Naning. Ia menyarankan tindak lanjut kegiatan ini. Siswa, katanya, dibuatkan blog dan guru dilibatkan untuk menilainya.
Naning yakin, kegiatan menulis dapat mengurangi tawuran fisik di kalangan pelajar. Sebab dengan menulis mengurangi salah pengertian. “Kalau perlu yang digunakan sebagai senjata adalah pena. Pelajar tawuran dengan kata-kata,” tegasnya. (Billy Antoro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar