Wawancara Billy Antoro dari Dirjen Pendidikan Dasar Depduikbud RI dengan Naning Pranoto.
“Supaya Siswa Tawuran Kata-kata”
Mataram (Dikdas): Musuh utama penulis pemula adalah stigma. Stigma
bahwa kalau jadi penulis pasti akan melarat. Penulis dianggap kegiatan
buang-buang waktu. Tak dapat beri penghidupan memadai.
Stigma seperti ini, menurut sastrawan Naning Pranoto, didasari
pikiran materialistis. Kebanyakan dianut oleh orangtua yang memandang
menulis sebagai kegiatan buang-buang waktu.
Padahal, kini, di era komunikasi, orang yang menguasai bahasa adalah
penggenggam dunia. Sebab, kegitan ini dilakukan sebagai sebuah kesadaran
intelektual. Naning Pranoto menjelaskan, di negara-negara maju macam
Amerika Serikat dan Australia, keberadaan penulis angat dihargai oleh
pemerintah.
“Di luar negeri, penulis lebih tinggi tingkatnya dari menteri. Dia
dihargai, duduk paling depan. Begitu menerbitkan satu karya, tiap tahun
dapat subsidi dari pemerintah,” ujar penulis ramah yang lama menetap di
Australia dan mendalami bidang Academic Writing and Creative Writing di
University of Western Sydney. Tidak bekerja pun, tambahnya, penulis
bisa makan. Bisa berkreasi dan bepergian.
Naning Pranoto mengimbau agar dilakukan gerakan pengentasan stigma
tersebut. Sudah saatnya penulis dipandang sebagai profesi mulia yang
beri banyak manfaat dan perubahan pada banyak orang dan lingkungan.
Pemerintah mesti memberi perhatian lebih dan kemudahan-kemudahan pada
para penulis.
Menulis, kata Naning, merupakan panggilan jiwa. “Ini menyangkut
perasaan, kreativitas, kesetiaan kepada bidang kepenulisan,” ucap
penulis yang telah menerbitkan ratusan cerpen dan belasan novel ini.
Penulis pemula harus berlatih terus-menerus untuk menenuhi panggilan
jiwanya.
Menulis juga dapat membekali manusia dengan kemampuan apa saja.
Bahasa, alat penulis dalam bergerak, memiliki peran sentral dalam
kehidupan. Alat untuk kelanjutan hidup, kebudayaan, pendidikan, dan
semua sektor lain yang berkaitan dengan aktivitas manusia. “Bahkan mimpi
Anda menggunakan bahasa,” tegas Naning.
Maka, agar memiliki ‘mesiu’ tangguh, penulis harus membekali diri
dengan aktivitas membaca. Tujuannya untuk memperkaya kosakata. “Orang
yang menulis tiba-tiba blank karena miskin kosakata,” ungkap Naning.
Penulis pemula juga harus memiliki ambisi punya karya. Berkarya,
zaman sekarang, bisa di mana saja. Terlebih media internet dan jejaring
sosial memungkinkan orang untuk menuliskan apa saja isi pikiran.
Laman-laman media juga menyediakan ruang khusus bagi masyarakat untuk
menuliskan ide-idenya. Naning yakin, orang yang menulis ingin karyanya
dibaca orang lain. “Omong kosong kalau menulis untuk diri sendiri,”
sergahnya. Semakin punya banyak kesempatan unuk mengekspresikan diri,
orang semakin semangat untuk berkarya.
Naning memandang perlunya keberadaan pembimbing atau tutor bagi
keberlangsungan penulis pemula. Jangan sampai seperti rumput liar,
katanya. Di titik ini Naning mengkritik keberadaan guru yang hanya bisa
memerintahkan siswanya menulis tetapi ia sendiri tak pernah menulis
untuk koran dan media lainnya. “Bagaimana dia bisa mengajar kalau dia
sendiri tidak bisa melakukan,” gugatnya.
Naning mengusulkan agar sekolah mendatangkan guru tamu. Siswa
dibimbing secara profesional. Guru-gurupun sebaiknya ditatar menjadi
tutor.
Pentingnya menulis di mata Naning lantaran kegiatan ini mampu
membentuk karakter siswa. “Pertama, disiplin. Anda tidak akan bisa
menulis kalau tidak disiplin,” urainya. Kedua, ia akan bisa berbahasa
bagus. Bahasa menunjukkan nilai suatu bangsa. Ketiga, cerdas. Penulis
akan mencari bahan bacaan untuk melengkapi tulisannya. Jika bahan
tulisannya kurang, ia akan mencarinya.
Keempat, membuka wawasan. Penulis adalah orang-orang yang selalu
terdorong untuk mengetahui banyak hal. Kelima, sosialisasi. Untuk
mengetahui banyak hal, penulis harus bersosialisasi dengan berbagai
macam orang dan lingkungan berbeda. “Orang untuk bisa dewasa melakukan
sosialisasi. Lingkungan memengaruhi sekali,” ujar Naning.
Sebagai pemakalah dalam pembekalan kepada siswa-siswi jenjang SMP
peserta lomba menulis cerpen Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2012
di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa 19 Juni 2012, Naning melihat
banyak sekali potensi yang bersemayam dalam diri peserta. Ia berharap
kegiatan ini tak berhenti sampai di sini. “Jangan kayak upacara,”
katanya. Acara selesai, semua bubar dan melupakan kegiatan menulis.
“Ini bukan pekerjaan perorangan, tapi kerja tim,” ujar Naning. Ia
menyarankan tindak lanjut kegiatan ini. Siswa, katanya, dibuatkan blog
dan guru dilibatkan untuk menilainya.
Naning yakin, kegiatan menulis dapat mengurangi tawuran fisik di
kalangan pelajar. Sebab dengan menulis mengurangi salah pengertian.
“Kalau perlu yang digunakan sebagai senjata adalah pena. Pelajar tawuran
dengan kata-kata,” tegasnya. (Billy Antoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar